Sabtu, 17 Agustus 2013

Pesanggrahan Rejowinangun (Tuk Umbul Warung Boto Yogyakarta)



Pesanggrahan Rejowinangun merupakan salah satu pesanggrahan yang dibangun atas perintah Sultan Hamengku Buwono II. Pesanggrahan ini berada di sebelah timur Kraton Yogyakarta yaitu berlokasi di sisi timur dan barat sungai Gajah Wong. Saat ini untuk sisa pesanggrahan sisi timur sungai telah banyak yang hilang, sedangkan di sisa bangunan di sisi barat sungai masih relatif menunjukkan sisa-sisa yang signifikan. Sisa bangunan di sisi barat sungai secara administratif berada di Kalurahan Warung Boto, sehingga peninggalan kekunoan Pesanggrahan Rejowinangun di sisi barat sungai lebih sering disebut Umbul Warung Boto (selanjutnya disebut Situs Warung Boto). Adapun sumber-sumber sejarah tertulis yang menyebut secara eksplisit tentang keberadaan pesanggrahan Rejowinangun sangat jarang, nama pesanggrahan ini setidaknya ditemukan pada dua naskah kesejarahan yakni dalam bentuk babad dan serat Macapatan. Pada serat Sinom tersebut lebih lanjut disebutkan tentang nama pesanggrahan- pesanggrahan yang dibedakan menjadi 2 waktu pembangunannya dengan tanpa menyebut angka tahun, yakni sebelum Sultan Hamengku Buwono II naik tahta dan sesudah naik tahta. Pesanggrahan Rejawinangun dan Reja Kusuma dibangun ketika Sultan Hamengku Buwono II masih sebagai putra mahkota (Adipati Anom) sedangkan pesanggrahan Purworejo, Cendhonosari dan Wonocatur didirikan setelah beliau naik tahta sebagai sultan. Dari serat tersebut tidak terungkap bagaimana bentuk bangunan serta cakupan keseluruhan pesanggrahan. Dalam serat Rerenggan tersebut pesanggrahan Rejawinangun hanya disebut sebagai “klangenan” . Penyebutan klangenan dalam serat tersebut sebagai sebuah (bangunan atau lingkungan binaan) yang ditata dengan menonjolkan keindahan untuk dinikmati Sultan.
Pada waktu masih dimanfaatkan sebagai pesanggrahan milik sultan, pesanggrahan Rejawinangun didirikan pada sisi barat dan timur sungai Gajah Wong dengan memanfatkan undak-undak sungainya. Antara kompleks bangunan sisi timur dan barat sungai memiliki sumbu imajiner yang membujur timur hingga barat. Sumbu imajiner ini memotong pula aliran sungai Gajah Wong yang mengalir ke selatan. Hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti mengenai pemanfataan kompleks bangunan di sisi timur sungai, tetapi hingga tahun 1936 masih jelas terlihat jika kompleks bangunan sisi timur sungai terbagi menjadi 3 kompleks yang membujur utara-selatan dengan pagar keliling serta dihubungkan oleh  30 meter. Sedangkan kompleks bangunan di sisi±jalan berpagar selebar  barat sungai yang hingga kini masih meninggalkan bukti fisik yang cukup banyak. Bangunan-bangunan di sisi barat sungai atau kini sebagai situs Warung Boto merupakan kompleks bangunan berkamar dengan halaman berteras di sisi barat, dengan kolam-kolam pemandian yang berasal dari sumber mata air tawar (umbul). Keberadaan unsur bangunan yang berintegrasi dengan unsur air sering diidentifikasikan sebagai sebuah taman, yakni merupakan area privat milik sultan dengan ciri tembok keliling yang tinggi. Taman merupakan tempat peristirahatan sultan dan kaum kerabatnya. Hal ini terungkap pula melalui Tijdschriff voor Nederlandsch Indie tahun 1884 tulisan J.F Walrofen van Nes yang mengupas tentang Sultan Hamengku Buwono II dan didalamnya sedikit menyinggung tentang Umbul Warung Boto. Disebutkan dalam tulisannya tersebut bawah Umbul Warung Boto adalah salah satu bangunan hasil karya Sultan Hamengku Buwono II yang berfungsi sebagai bangunan peristirahatan bagi raja dan keluarganya..
Naskah sejarah lain yang menyebutkan tentang keberadaan Pesanggahan Rejawinangun adalah Babad Momana. Dari Babad Momana tersebut dapat diketahui dengan pasti bahwa mulai pembangunan Pesanggrahan Rejawinangun adalah di tahun 1711 tersebut cukup menarik, karena selama ini Pesanggrahan Rejawinangun dikenal sebagai pesanggrahan yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono II. Padahal pada tahun 1711 (1785 M) Sultan Hamengku Buwono I masih bertahta sebagai sultan Yogyakata. Jadi babad ini secara tidak langsung mempertegas apa yang disebut dalam Serat Rerenggan, yakni Pesanggrahan Rejawinangun dibangun ketika sultan Hamengku Buwana II masih sebagai Adipati Anom Amangkunegara. Catatan Belanda yakni oleh Gubernur Belanda untuk Jawa bagian timur, yakni J. Greeve yang pada kurun waktu tahun 1787 hingga 1791 pernah bekunjung ke Yogyakarta dan pada waktu itu ia bertemu dengan putra mahkota yaitu pangeran Adipati Anom Amangkunegara di Pesanggrahan Rejawinangun. Baru di tahun Je 1718 (1792 M) Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono II menggantikan Hamengku Buwono.
Dari sumber-sumber tertulis mengenai keberadaan Pesanggrahan Rejawinangun keseluruhannya hanya menyebut secara eksplisit, jadi tidak bisa dijelaskan dengan pasti dan detail bagaimana proses pembangunan pesanggrahan maupun bentuk dan luasan bangunan-bangunannya. Padahal dari sisa-sisa bangunan di Situs Warung Boto dapat diketahui dengan pasti jika bangunan-bangunan tersebut pernah mengalami perubahan arsitektur sekaligus penambahan bangunan.
Bangunan Pesanggrahan Rejawinangun terbagi atas 2 bagian. Bagian pertama terletak di sebelah barat, yakni bangunan yang mengelilingi dua buah kolam. Kolam pertama berbentuk bulat yang berdiameter 4,5 m dan kedalaman 0,5 m. Kolam kedua berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 10 m dan kedalaman 0,75 m. Bangunan ini merupakan bangunan bertingkat yang sebagian ruangan yang berada di tingkat atas telah runtuh. Lorong-lorong yang terdapat di bangunan yang mengelilingi kolam memiliki langit-langit berbentuk lengkung. Seluruh bangunan di bagian ini merupakan bangunan bata yang telah menggunakan perekat dan diplester di kedua permukaannya. Bagian kedua terletak di sebelah timur , yakni bangunan kolam berbentuk kolam berbentuk U yang berdinding bata dengan ukuran panjang 6 m, tinggi 3 m dan tebal 60 cm. Di bagian utara dan selatan bagian kedua ini masing-masing dijumpai patung manuk beri. Keberadaan pesanggrahan tersebut mempunyai berbagai nilai penting baik sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Oleh karena itu, keberadaannya dilindungi oleh Undang-undang RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Hasnan Habib Nyutran MG II/214 C/1536 RT 58/RW 18

Selasa, 25 Juni 2013

Silsilah Untung Suropati



Menurut silsilah Joko Pragola alias Untung adalah anak dari Raden Panji Wanayasa , seorang keluarga bangsawan Mataram di Banjaran Pucung Tapos Depok . Kakeknya bernama Bagus Wanabaya anak dari Ki Ageng Mangir Wanabaya II  dari istrinya Raden Roro Pembayun  anak dari Panembahan Senopati Mataram. Orang Jawa menyebut Panembahan Loring Pasar. Ketika masih muda Panembahan Senopati (Raja Mataram ke II ) pernah membunuh pemberontak Demak Raden Arya Penangsang.
Untung seorang pemuda berwajah tampan dan halus tutur katanya sebagaimana kebiasaan priyayi Mataram. Keluarganya adalah spion atau prajurit Mataram yang sudah lama bertugas digaris belakang pertahanan VOC Belanda di Batavia , sebagai salah satu letnan VOC Untung sudah sangat mengenal titik titik kelemahan kota Batavia. Dia sangat pemberani namun berhati mulia, sehingga selama di dalam kalangan Batavia sangat disegani kawan-kawannya. Pada suatu kesempatan Untung yang ditahan karena berpacaran dengan Suzana putri bossnya kapten Moor, memimpin para narapidana melakukan perlawanan kepada penjaga penjara. Penjara berhasil dijebol, berbagai senjata dirampas dan dibawa kabur. Kompeni mengirimkan serdadu untuk menangkap mereka, tetapi upaya itu tidak membuahkan hasil. Untung dan pengikutnya justru membunuh beberapa serdadu yang mengejarnya. Kompeni semakin marah kepada Untung dan terus-menerus melakukan pengejaran.
Di tengah perjalanan perang di wilayah Cimpaeun Tapos Depok Untung berhasil menemukan persembunyian pasukan Pangeran Purbaya dan 2 istrinya yang bernama Raden Ayu Gusik Kusumo dan Ambo Mayangsari, melihat rekannya letnan Kueffler melecehkan Ambo Mayangsari dan Gusik Kusuma Untung marah besar dan membunuh seluruh peleton letnan Kueffler di daerah Tapos Depok , Untungpun membelot ke pihak Pangeran Purbaya , mereka saling memperkenalkan diri serta menceritakan riwayat masing-masing. Gusik Kusumo terpaksa minta pulang ke Mataram dengan izin Pangeran Purbaya karena suaminya akan menyerahkan diri kepada Belanda, wanita tersebut tidak  menyetujui niat suaminya. Sementara Untung menceritakan kalau dirinya pasti akan menjadi buronan serdadu kompeni karena telah membunuh Kueffler  bersama teman-temannya. Setelah saling mengetahui riwayatnya, mereka menyatakan keinginannya bersatu untuk melawan  kompeni.  Gusik  Kusumo  didampingi Untung dan pengikutnya mencari perlindungan ke Kasultanan Cirebon untuk selanjutnya menuju ke Mataram, tanah leluhur Untung, karena Sultan Cirebon masih mempunyai hubungan keluarga dengannya. Setelah dipikir dengan matang, Untung menyambut baik ajakan tersebut, mereka segera bergerak menuju Cirebon.
Sultan Cirebon sangat gembira menerima kedatangan Untung , Gusik Kusumo dan seluruh teman-temannya. Wanita itu menceritakan semua peristiwa yang dialami, mulai dari kepergiannya meninggalkan suami sampai pertemuannya dengan Untung. Kanjeng Sultan sangat prihatin akan nasib keponakannya, tetapi beliau juga bangga. Meskipun seorang wanita, Gusik Kusumo tidak gentar melawan kompeni. Sebagai ungkapan terima kasih kepada Untung yang sudah mengawal keponakannya, Untung dianugerahi nama Suropati oleh Sultan Cirebon, sehingga namanya menjadi Untung Suropati.
Beberapa saat lamanya Untung tinggal di Cirebon, hingga pada suatu hari Kanjeng Sultan menyarankan agar Untung meneruskan perjalanan ke Kartasura. Sultan khawatir kompeni akan menyerang Cirebon, sementara kondisi kesultanan tidak memungkinkan melakukan perlawanan. Cirebon adalah kerajaan yang hanya memiliki prajurit dalam jumlah terbatas. Di Kartasura Untung akan mendapat pengayoman karena Kartasura memiliki prajurit yang sangat besar. Ayah angkat Gusik Kusumo adalah Patih Mangkubumi. Untung Suropati memahami hal itu, sebenarnya dia bersama kawan-kawannya juga sudah berencana meninggalkan Kesultanan Cirebon. Mereka terpaksa bertahan di Cirebon karena menunggu keputusan Gusik Kusumo.
Pada waktu yang hampir bersamaan Gusik Kusumo mengutarakan niatnya untuk pulang ke Kartasura. Sang Putri sudah sangat rindu kepada keluarganya di Mataram dan harus secepatnya diberitahu kalau dirinya sudah meminta izin suaminya Pangeran Purbaya. Pernikahannya dengan Purbaya dulu adalah atas kehendak Sunan Amangkurat, jadi apapun yang terjadi harus dilaporkan ke Mataram. Kanjeng Sultan memberikan perbekalan yang cukup untuk keberangkatan mereka. Beliau juga mengijinkan orang-orang Bali, Madura dan Makassar yang hidup bergelandangan di Cirebon bergabung dengan Untung Suropati. Setelah berpamitan kepada Kanjeng Sultan, rombongan Untung dan Gusik Kusumo meninggalkan Cirebon dengan.

Kamis, 06 Juni 2013

VOC bangkrut timbullah "Cultuurstelsel" Sebuah Sistem Tanam Paksa Jaman Penjajahan Belanda


''Cultuurstelsel'' (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan
Graaf Johannes van den Bosch, pelopor Cultuurstelsel
tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.

Sejarah 

Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.

Kritik


Wolter Robert baron van Hoëvell, pejuang Politk Etis Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.

Kritik kaum liberal

Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.

Kritik kaum humanis

Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.

Dampak di bidang pertanian

Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.

VOC: Pedagang sekaligus Pendakwah Kristen

Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) didirikan tanggal 20 Maret 1602 dan merupakan perusahaan dagang yang semula hanya memfokuskan pada perdagangan semata dan bukan penaklukan wilayah. Beberapa ahli sejarah kurang sepakat apakah VOC pada mulanya tidak memiliki motif-motif lain selain perdagangan.Beberapa ahli sejarah menghubungkan dengan tiga istilah 3-G (Gold, Glory, Gospel).DR. Verkyul pun memberikan konfirmasi dengan menggunakan istilah sbb: motif merkantil-ekonomis, motif teokratis,motif kultural, motif imperial.
Sekalipun perusahaan dagang, tidak dapat disangkal bahwa VOC mirip sebuah pemerintahan Kristen yang mempunyai kekuasaan politis untuk mengadakan perjanjian dengan pemerintahan lain, mengambil keputusan perang, mengadakan dan memelihara tentara, membuat dan mengedarkan uang. Pada 1669, VOC merupakan perusahaan pribadi terkaya dalam sepanjang sejarah, dengan lebih dari 150 perahu dagang, 40 kapal perang, 50.000 pekerja, angkatan bersenjata pribadi dengan 10.000 tentara, dan pembayaran dividen 40%]. VOC mempunyai kewajiban agamawi karena diwajibkan oleh pemerintah Belanda melakukan pengawetan atau pemeliharaan kepercayaan umum dalam hal ini agama Kristen sebagai agama yang diakui sah oleh pemerintah kerajaan Belanda yang beraliran Calvinis. Pemeliharaan kepercayaan umum tersebut selaras dengan bunyi pengakuan iman Belanda pasal 36 ( Nederlandsche Geloofsbelijdenis). Berdasarkan perintah tersebut maka VOC mengeluarkan berbagai peraturan al., memelihara gereja yang kudus, menolak dan membasmi segala rupa penyembahan berhala dan agama palsu – bukan saja Islam dan agama kafir namun Katolik dan aliran Lutherandan diluar Calvinis – serta membiayai berbagai kegiatan agamawi seperti ibadah,pengajaran agama, pemeliharaan rohani serta penyebaran agama. Hanya terkait tugas penyebaran agama, VOC kerap melalaikan tugas ini jika sudah berbenturan dengan kepentingan perdagangannya. Bahkan orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC mengabaikan nurani kristennya. Tugas,penyebaran Injil tidak hanya dilaksanakan oleh VOC. Dalamperkembangannya khususnya setelah VOC bangkrut dan diambil alih pemerintahan Belanda, tugas penyebaran Injil dilakukan baik oleh badan gereja resmi dalam hal ini oleh Netherlandsche Hervormde Kerk (NHK) maupun kelompok-kelompok di luar gerejaesmiseperti Het Nederlandsch ZendelingGenootschap (NZG),
 Nederlandsch Gereformeerde zendingsVereeniging  (NGZV), Doopsgezinde Zendings Vereeniging (DZV) serta kelompok awam yang tidak terikat dalam organisasi tertentu seperi F.L. Anthing (1820-1883),C.P. Stevens-Philips (1824-1876), J.C. Philips-van oostrom (1815-1877), E.J.De Wildt-Le Jolle (1824-1906), Tunggul Wulung (1800-1885) seorang pribumi jawa yang menjadi pertapa dan guru ngelmu sebelum masuk Kristen[9].
 
Di zaman VOC berkuasa, gereja yang terikat dengan VOC kerap mendapatkan benturan. Keterikatan dan kebergantungan gereja yang dikuasai VOC terutama dalam hal keuangan seperti memberi gaji pendeta. Kerap terjadi bahwa pendeta tidak berkutik menghadapi kebobrokan moral pejabat VOC yang secara kepangkatan berada di atasnya. Namun tidak semua pendeta bersikap tutup mulut dan berdiam diri. Seorang pendeta VOC bernama Justus Heurnius kerap memberikan kritik atas ketimpangan sosial dan ketidakadilan sosial. Heurnius kerap membela rakyat Nusantara yang tertindas oleh VOC. Ketika Batavia diserbu Sultan Agung dari Mataram tahun 1628, beliau memberikan komentar: “  Kenyataan ini merupakan hukuman yang adil bagi umat Kristen Belanda yang celaka, yaitu umat yang hidupnya sehari-hari, tidak mau mengamalkan perintah Tuhan ...”. Akibat pernyataannya beliau diasingkan ke Indonesia Timur (1632-1638) dengan harapan tidak lagi kembali kenegeri Belanda.

Rabu, 29 Mei 2013

Kota Depok, Sejarah Pra Cornelis Chastelein

Nama Depok terkenal sebagai salah satu kota satelit ibukota Jakarta, tetapi entah sengaja atau tidak, di beberapa daerah ada juga nama Depok, seperti di Kabupaten Sleman Yogyakarta yang mempunyai salah satu kecamatan bernama Depok juga salah satu pantai yang terkenal di Yogyakarta yaitu Parangtritis juga sering disebut juga dengan pantai Depok, bahkan di Daerah Bantul Yogyakarta adan juga nama Bah Depok ddisebelah pabrik Gula Madukismo Yogyakarta. Nama Depok juga erat berkaitan dengan kisah sejarah Majapahit yaitu putra Kertabumi atau Brawijaya ke V, yang bernama Bondan Kejawan yang menurunkan Ki Ageng Abdullah atau Ki Ageng Getas Pendawa atau Raden Depok, seorang kyai atau guru spiritual , dari nama inilah kemungkinan istilah padepokan lahir, yaitu belajar mengaji di tempat Raden Depok, kisah ini terjadi di tahun 1500 atau semasa walisongo di pulau Jawa, karena Jawa Barat diislamkan oleh Sunan Gunungjati yang memang mengaji dan bersosialisasi di Jawatengah maka istilah "Padepokan atau mengaji di tempat Raden Depok" masih terbawa bawa hingga terjadi pengislaman tanah Sunda yang dipelopori oleh kerajaan Banten dibawah Maulana Hasanudin putra Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Jadi kalau istilah Depok ini berasal dari kata kata Padepokan maka jelas nama Depok telah ada sebelum Cornelis Chastelein datang ke Depok, namun sebetulnya kata kata De-Folk yang artinya "rakyat"  juga bisa dikaitkan sebab nama awal dari Kali Sunter (yang muaranya berada di kelurahan Cilangkap Tapos Depok) sudah disebut oleh pimpinan telik sandi tentara Mataram yang tinggal di  Batavia sejak tahun 1620 - 1629 yang bernama Ki Bagus Wanabaya, (putra Ki Ageng Mangir dan Roro Pembayun dari Mataram) sebagai Kaal - Stinker atau "daerah orang miskin yang berbau kentut" rupanya naluri insting intel Mataram yang cakap berbahasa Belanda ini memahami bahwa dengan sebutan yang rendah itu tidak akan menuntun intel VOC Belanda untuk mencari lokasi khusus yang menjadi markas tentara Sandi Mataram di Depok itu.

Namun keberadaan Kaal - Stinker atau Kali Sunter itu akhirnya terendus juga oleh intelejen VOC Belanda sesudah perang Banten tahun 1682 yang menemukan ternyata penduduk Tapos ini ternyata telah mempunyai komunitas dan kemampuan tempur yang sangat baik, maka pimpinan intelejen VOC menugaskan seorang tentara muda dan cerdas bernama Cornelis Chastelein yang pada tahun  itu  pada usia 25 tahun dengan jabatan sebagai Grootwin kelier der OostIndische Compagnie untuk menyelidiki dan memantau dan menggarap daerah selatan Batavia ini sebagai daerah penyangga kekuatan militer Batavia melawan tentara pemberontak lokal Sunda yang saat itu terganggu produksi kebunnya . Ia bersama kesatuan tempurnya bekerja keras dan menanamkan jiwa persaudaraan dalam korsa kesatuan tempurnya. Dan pada tahun 1691 ia dinaikkan jabatannya menjadi Tweede Opperkoopman des Casteels Batavia dengan gaji 65 gulden,namun ia malah diperintahkan untuk pensiun dari VOC karena diserahi tugas khusus untuk memimpin Garnizun Depok, sebuah kesatuan tentara yang mandiri dengan para prajurit lokal Nusantara . Jabatan itu didapat karena ide cerdasnya untuk membentuk kesatuan tentara khusus Kristen beranggota suku suku di Nusantara yang mandiri, keluarga pejuang yang harus bisa berbaur di masyarakat sebagai petani atau pekebun yang agamis , mereka dididik menjadi fanatik, ulet dan pemberani , saking fanatiknya mereka memanggil sang kumendan Cornelis dengan sebutan presiden,

Cornelis Chastelein menjadi komandan dan memerintah garnizunnya lengkap dengan sistem pemerintahannya dan melatih para prajurit lokal VOC ini dengan sangat baik sehingga sebagian besar anggotanya (walaupun berlainan suku dan daerah) sangat piawai berbahasa Belanda. Model dan ketaktisan kesatuan tempur Garnizun Depok ini sangat dikagumi dan mengilhami Herman Willem Deandels yang pernah bertugas menjadi Gubernur Jendral ke 36 di Batavia mencetuskan Ide Legiun Asing ( legion Estranger) dalam ketentaraan Napoleon Bonaparte pada tahun 1812, yaitu adanya prajurit dari bermacam suku dan bangsa dalam sistem keprajuritan Perancis, ide ini ditiru dan dilaksanakan oleh pemerintah Perancis hingga perang dunia ke II.

Ada 12 marga yang diberikan oleh Cornelis Chastelein sebagai simbul garnizun ini. Ke-12 marga tersebut adalah Bacas, Jonathans, Isakh, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh. Pada awalnya, warga yang mendapat 12 marga ini berasal dari berbagai suku di Indonesia, seperti Jawa, Makassar, Manado, Bali dan Timor., jelas ide garnizun Depok ini berasal dari ketekunannya mempelajari budaya pertanian / perkebunan masyarakat Tapos yang keturunan tentara Mataram dan Banten. Tentara lokal garnizun Depok ini dididik Cornelis Chastelein secara keras, disiplin dan spartan, (pendidikan ketentaraan inilah yang disamarkan oleh VOC sebagai perbudakan), sehingga tentara yang dihasilkan dari garnizun Depok ini  menjadi andalan VOC dimasa itu dalam menumpas pemberontakan pemberontakan yang seringkali terjadi di Nusantara. Garnizun Depok ini mempunyai simbul 12 marga atau kompi (atau disebut kumpi), Dengan adanya Kristen sebagai agama wajib anggotanya di Garnizun Depok ini, maka  tentu vaktor pembelotan tentara lokal VOC saat melawan kerajaan kerajaan (yang kebanyakan Islam) Nusantara dapat diminimalisir sekecil mungkin. Oleh karena ia bertindak sebagai direktur dan komandan Garnizun, demi kecintaannya pada para prajurit setianya maka saat ia meninggal, ia meletakkan harapana dan cita-citanya pada 12 kumandan kompinya dengan mewariskan semua harta bendanya kepada mereka.

Jumat, 24 Mei 2013

Asal muasal nama Kali Sunter, kisah perjuangan Ki Bagus Wanabaya dari kerajaan Mataram Sultan Agung. Oleh : Hasnan Habib

Penulis di sumber mata air, Banjaran Pucung Cilangkap Tapos Depok
Mata air kali Sunter terletak di kp Banjaran Pucung Cilangkap Tapos Depok berbatasan dengan kampung Cimpaeun Tapos Depok dan bermuara di teluk Jakarta tepatnya didaerah Ancol Jakarta utara, Kali Sunter mempunyai jejak sejarah yang sangat panjang, sejak tahun 1450 saat Sunan Kalijaga diperintahkan untuk berdakwah di Jawa Barat oleh Sunan Gunung Jati dan pertemuanya deng Ki Langkap Kahfidaztu atau Ki Aling diwilayah mata air Kali Sunter Banjaran Pucung Cilangkap Tapos kota Depok, yang terdekat dengan kisah kali Sunter adalah saat Ki Bagus Wanabaya , mata mata dari Mataram dibawah Sultan Agung yang bertugas di wilayah dalam benteng VOC di Batavia, dia selalu menyebut daerah asalnya dari daerah Kaal - Stinker yang dalam bahasa Belanda berarti " Orang miskin yang berbau kentut" nama ini mungkin sangat aneh bagi para penduduk Batavia, tetapi untuk kepentingan intelejen Mataram nama ini menjadi penting karena dengan nama ini intelejen VOC Batavia menjadi tidak peduli dengan daerah Kaal - Stinker, padahal bila mereka tahu pastilah mereka akan menyelidiki daerah yang dijadikan markas mata mata perang Mataram sejak 1620 hingga 1629, bahkan saat perang Mataram - Batavia berakhir dengan tewasnya JP Coen sang gubernur jendral keduanya, kali Sunter masih dijadikan markas besar oleh keturunan keturunan mata mata Mataram diantaranya Raden Panji Wanayasa dan Dewi Sekar Rinonce. Jejak sejarah lainnya adalah kehadiran putra raden Panji Wanayasa yaitu Lie Sun Tek dari istrinya yang keturunan chinese, Lie Suntek yang menjadi salah satu panglima Sultan Ageng Tirtayasa ini membawa harta kerajaan Banten ke wilayah kali Sunter dalam perang VOC - Banten tahun 1682, sebuah perang saudara yang dipicu politik adu domba VOC Belanda. Kini daerah subur ini telah menjadi lapangan golf dan pemukiman masyarakat

Selasa, 09 April 2013

Makam Patih Rojoniti, Adik sekaligus Patih Ki Ageng Mangir Wanabaya di Poncosari Srandakan Bantul.

Keletakan

Makam Patih Rojoniti secara administrative terletak di Dusun Cangkring, Kalurahan Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY.

Kondisi Fisik

Makam Patih RojonitiMakam Patih Rojoniten merupakan makam dengan keletakan lebih tinggi dari dataran tanah di sekitarnya. Bahkan makam ini posisisnya juga lebih tinggi daripada jalan berasapal yang terletak persis di sisi utaranya. Kompleks makam ini tampaknya memang dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya. Hal ini bisa dilihat dari pondasi yang berdenah persegi yang sekaligus difungsikan untuk dinding/tembok guna menahan tanah yang diisikan ke dalamnya. Pondasi ini sedikit menjulang dari tanah di sekitarnya dengan ketinggian sekitar 1-2 meter di sisi utara (dekat jalan aspal). Sementara sisi yang kelihatan demikian tinggi terletak di sisi selatan (sekitar 2-4 meter).Luas makam Patih Rojoniti sekitar 9 m x 10 m. Nisan makam Patih Rojoniti terbuat dari potongan-potongan batu andesit yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan batu nisan.
Makam Patih RojonitiNisan makam dari Patih Rojoniti terbuat dari susunan batu putih. Panjang nisan sekitar 160 Cm, lebar 70 Cm, dan tinggi hingga kepala jirat sekita 100 Cm. Di sisi makam Patih Rojoniti juga diletakkan nisan dari istri Patih Rojoniti. Makam istri Patih Rojoniti berukuran lebih kecil daripada makam Patih Rojoniti. Hingga kini kompleks makam Patih Rojoniti tidak digunakan untuk pemakaman umum. Jadi, lebih dikhususkan untuk Patih Rojoniti dan istrinya saja.

Latar Belakang
Sumber setempat menyebutkan bahwa ia adalah patih sekaligus adik dari Ki Ageng Mangir, Dialah yang ditugaskan Panembahan Senopati untuk melawan menewaskan Raden Rangga sebagai balas darah kematian Ki Ageng Mangir dalam kisah Mataram disebutkan bahwa Raden Rangga tewas diluar tembok Mataram oleh seekor naga.Disebutkan bahwa Patih Rojoniti yang berasal dari Mangiran pernah tinggal di sebuah tempat yang sekarang dinamakan Patihan. Nama tempat ini masih berada di wilayah Srandakan, Bantul. Nama Patihan diduga berasal dari nama jabatan Patih Rojoniti. Oleh karena ia menjabat sebagai patih, maka wilayah tempat tinggalnya kemudian dinamakan Patihan.
Makam Patih RojonitiSelain pernah tinggal di Patihan, Patih Rojoniti juga dipercaya pernah tinggal di wilayah yang sekarang disebut Dusun Rojoniten. Tempat ini masih berada di wilayah Srandakan, Bantul. Sekalipun ia pernah tinggal di dua dusun tersebut di atas, namun ia minta dimakamkan di Dusun Ciren jika dirinya meninggal. Tidak ada yang pasti tentang alasan mengapa ia menginginkan hal yang demikian.
Pada masa lalu kompleks makam Patih Rojoniti ini dianggap demikian keramat sehingga ada cerita yang menyatakan bahwa siapa pun yang melintas di sisi makam dengan mengendarai sesuatu (kuda atau kendaraan lain), maka orang tersebut akan jatuh atau celaka. Bahkan binatang yang melintas di atas nisannya pun disebut-sebut akan bisa celaka. Keturunan dari KiAgeng Mangir atau patih Rojoniti umumnya tinggi besar berkulit putih berwajah cantik atau tampan serta berhidung mancung ini dikarenakan Ki Ageng Mangir masih keturunan India utara, salah satu contohnya adalah keturunan almarhum Embah Sastro Suyitno di Cangkring Poncosari Bantul Yogyakarta .



 

Sabtu, 16 Maret 2013

JANGAN PERCAYA MENTAH MENTAH SEJARAH VERSI VOC BELANDA : Sejarah kabur Pahlawan Nasional dari Mataram

Untung Surapati merupakan salah seorang pahlawan nasional Indonesia berdasarkan penetapan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975. Menurut sejarah (Sejarah yang  mana ?) , Untung Surapati berasal dari Bali (Sumber kekacauan sejarah VOC, ditulis susudah Untung menjadi musuh besar VOC, agar kraton Mataram mengganggap dia bukan orang Jawa) yang awalnya ditemukan oleh perwira VOC yang ditugaskan di Makasar yang bernama Kapten van Beber (tidak ada nama Beber dalam jajaran perwira VOC saat itu, kemungkinan besar berasal dari kata wayang ). Perwira VOC itu kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia bernama Moor (Tidak ada tradisi menjual budak kepada sesama perwira). Ketika usianya 20 tahun, ia dimasukkan ke penjara oleh Moor karena berani menikahi putrinya yang bernama Suzane. (Padahal Untung dipenjara karena ketahuan silsilahnya sebagai keturunan mata mata Mataram). Kemudian Untung memimpin pergerakan para tahanan hingga akhirnya berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan. Pada tahun 1683, VOC berhasil mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa, sang raja Banten. Putra sang raja yang bernama Pangeran Purbaya melakukan pelarian ke Gunung Gede. Setelah melalui proses yang panjang, pangeran Purbaya memutuskan menyerah asalkan ia dijemput oleh perwira VOC pribumi. Beruntungnya, Untung telah menerima tawaran sebagai tentara VOC (Padahal VOC tahu persis bahwa Untung pasti bisa ke martkas Banten di Depok dan mendekati garis pertahanan Banten karena kedekatan dengan para saudaranya seketurunan Mataram di Depok) dan dilatih ketentaraan. Ia diberi pangkat letnan dan saat itu ditugasi untuk menjemput Pangeran Purbaya. ( Jelas untung kenal sekali dengan Pangeran Purbaya karena istrinya Ambo Mayangsari adalah guru ngaji Untung di Batavia), Dalam tugas rahasia dengan Pangeran Purbaya mengantarkan istri P. Purbaya ke ayahnya di Kartosuro.Untung yang tiba di Kartasura kemudian mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada Patih Nerangkusuma, ayahnya, yang juga tokoh anti VOC. Ia gencar melakukan pendesakan kepada Amangkurat II untuk melanggar kesepakatan dengan Belanda. Nerangkusuma kemudian menikahkan Gusik Kusuma dengan Suropati. Pada Februari 1686, batalyon tempur Kapten François Tack yang merupakan perwira VOC senior tiba di Kartasura untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC. Pertempuran pun tidak terhindarkan. Pasukan VOC sebanyak 75 orang tewas, termasuk Kapten Tack yang tewas di tangan Untung.Amangkurat II yang takut pengkhianatannya terbongkar kemudian merestui Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Di Pasuruan, Suropati berhasil mengalahkan Anggajaya, Sang bupati. Untung Suropati pun menjabat menjadi bupati Pasuruan bergelar Tumenggung Wiranegara. Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC dibawah pimpinan Mayor Goovert Knole menyerang Pasuruan. Pertempuran tersebut menewaskan Untung Suropati pada tanggal 17 Oktober 1706. Untung Suropati tak pernah lari ke Bali karena dia memang bukan bangsawan Bali seperti sejarah yang ditulis VOC

Keturunan Ki Ageng Mangir di Jawa Barat :Syech Abdul Muhyi Pamijahan, Embah Dalem Arif Muhammad Cangkuang Leles, Syekh Mbah Eyang Haji Abdul Manaf Mahmud Cilegong Bandung

Candi disamping makam Arif Muhammad
Raden Panji Wanayasa seorang ulama seorang Canggah (cucunya Roro Pembayun ) keturunan langsung dari Panembahan Senopati Mataram yang mempunyai anak diantaranya bernama Eyang Abdul Manaf, berkelana menuntut ilmu ke Mekah di abad ke 15. Sepulangnya dari tanah suci, dia memilih untuk menetap di daerah rawa angker yang terletak di kelilingi sungai Citarum untuk melakukan syiar Islam bersama sejumlah santrinya.Dengan kesaktiannya, segenggam tanah yang dibawanya dari tanah suci ditebar ditengah rawa, bersama saudara-saudaranya : Raden Arif Maulana, Raden Untung, Raden Wasibagno Timur (Ki Ageng Gribig) menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan Sunda Kelapa milik VOC dengan menumpang kapal milik VOC, mengapa mereka bisa mendapatkan kemudahan untuk naik haji ke Mekah dengan kapal VOC, karena waktu itu jaringan prajurit sandi Mataram masih kuat diantaranya adalah keturunan Lie Suntek yang membuka jasa pelayaran bekerjasama dengan Kapiten Cina menantu Lie Suntek itu. Dan munculnya asal mula kampung Mahmud yang kita kenal seperti sekarang memang bermula dari keberadaan Raden Haji Mahmud cicit Panembahan Senopati yang berkibar pasca penyerbuan Mataram ke VOC tahun 1629 itu . Namun ada beberapa pantangannya yang harus dipatuhi oleh keturunan Sang Eyang Abdul Manaf agar kelangsungan hidup kampung Mahmud bisa tetap harmonis selaras alam dan nilai kehidupan yang diajarkannya dapat terus bergaung.

Untuk mengetahui secara langsung bagaimana keadaan kampung Mahmud itu pada saat sekarang,  Cerita mistis romantik asal mula kampung tersebut hampir sudah tidak meninggalkan bekas.Selain berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam di sekeliling kota Bandung, awalnya kampung Mahmud juga berfungsi sebagai tempat persembunyian dari ancaman penjajah. Untuk itu dibuatlah pantangan untuk tidak boleh memelihara ternak seperti kambing dan bebek serta tidak diperbolehkan membunyikan beduk dan gong di kampung tersebut.Namun ketika melewat depan gerbang Mesjid, terlihat beberapa ekor ayam berkeliaran di pekarangan rumah. Apakah hal itu juga berarti larangan berternak juga sudah tidak berlaku lagi di sini?Ada satu hal yang patut dicatat di sini, ( lihat gambar 1 di atas ) diujung kampung terdapat sebuah jalan setapak kecil yang membelah sungai Citarum dan ada kisah lain mengenai sungai tersebut yang kemudian membuat kampung Mahmud penuh mistis.

Menurut kepercayaan penduduk sana, selama ini kampung Mahmud tidak pernah mengalami banjir walau pun tepat berada di pinggiran sungai Citarum. Hal ini karena kampung Mahmud dilindungi oleh makhluk gaib berkepala manusia tapi berbadan ular bersisik emas. Mahluk ular berwajah ganteng keturunan Nyai Roro Jlegong dari Ki Ageng Mangir ini kadang-kadang menampakkan dirinya kepada orang tertentu untuk mewujudkan permintaan. Mungkinkah ular gaib dari kampung Mahmud merupakan salah satu keturunan dari Ular yang manjadi tombak Baru Klinthing dalam kisah Ki Ageng Mangir II dari tanah Jawa? wallahu alam . Yang jelas Sang Eyang Abdul Manaf oleh penduduk setempat disebut sebagai Eyang Mahmud atau Eyang Haji. Dari situlah nama kampung itu berasal. 

Sejarah kampung ini berkaitan erat dengan sejarah Raden Panji Wanayasa cucu Ratu Pembayun dan bermula dari Kampung Pulo tahun 1690 M, Ketika itu, datanglah kakak beradik Abdul Muhyi, Abdul Manaf dan Arif Muhammad cicit dari Ki Ageng Mangir dari Raden Panji Wanayasa di Tapos Depok, salah satu panglima perang kerajaan Mataram melawan VOC 1629 dan Banten 1686. Dalam pelariannya melawan Belanda VOC, Kakak beradik tersebut sedang membuka pos pos pasukan Mataram di wilayah selatan Jawa Barat, saat Abdul Muhyi diutus ke Tasikmalaya dan Abdul Manaf diutus ke Bandung oleh ayahnya, karena tidak ada perintah khusus embah Arif memutuskan menetap di desa Pulo. Sambil menyebarkan agama Islam, Konon sambil beristirahat Embah Dalem Arif Muhammad terkenang akan rumah ayahnya ditepi danau Jatijajar dimasa ia kecil dahului , tiba tiba terdengar kata kata Raden Panji Wanayasa "kalau anak-anakku  rindu pada ayahanda, buatlah danau yang mengelilingi desa", . Esoknya, secara ajaib muncullah sebuah situ, yang kini bernama situ Cangkuang. Kisah itu diceritakan turun temurun di Kampung Pulo, Kecamatan Leles, Garut. Situ Cangkuang yang kini menjadi objek wisata, menyimpan banyak kisah. Begitu juga Candi Cangkuang di seberang situ, serta makam Arif Muhammad di sebelahnya. Untuk mencapai lokasi, rakit bambu disediakan pengelola. Cukup Rp 8.000 untuk dewasa dan Rp 4.000 untuk anak-anak. Tak sampai sepuluh menit menyebrangi situ, kami sudah bisa sampai di candi setinggi delapan setengah meter itu. Perpaduan Hindu-Islam menjadi ciri istimewa. Candi dan makam Arif Muhammad terletak bersisian menandakan harmoni dua agama. Pertama kali candi ditemukan pada 1966 oleh Harsoyo dan Uka Candrasasmita. Penemuan ini berdasarkan laporan Vorderman tahun 1893. Sayangnya, candi Cangkuang ditemukan tak berbentuk. Hanya bersisa 40 persen saja puingnya yang 60 persen yang hilang lalu dibuat replika. Sehingga pada 1976, candi itu utuh kembali. Tepat di belakang komplek candi, terdapat rumah adat yang dengan bebas bisa ditelusuri. Rumah adat Kampung Pulo hanya tujuh saja jumlahnya. Tak boleh lebih, juga tak boleh kurang. Susunannya seperti huruf U, lingkungannya terawat, bersih, dan rapi. Jumlah ini simbol dari tujuh anak Arif Muhammad. Satu bangunan masjid melambangkan anak laki-laki. Enam lainnya berupa rumah tinggal, melambangkan anak perempuan.