Selasa, 29 Januari 2013

Legenda Pangeran Pengampun, Sosok Misterius dunia persilatan Nusantara


Bagi para guru sepuh ilmu silat, nama Pangeran Pengampun bukanlah nama yang asing. Tetapi pada saat sekarang mungkin hanya beberapa perguruan ssaja yang masih mengenalkan sosok legendaris Pangeran Pengampun. Konon ilmu silat sudah dikenal jauh sebelum agama Hindu dan Buddha masuk ke nusantara. Dimana dibuktikan bahwa di Nusantara ini (sebut saja Pulau Jawa), sudah memiliki peradaban yang sangat tinggi. Banyak fosil manusia tertua didunia ditemukan di daratan pulau Jawa, seperti dimulai dari pithecantrphus eretus sampai ke Mojokerto soloensis.
Konon di pulau Jawa dalam legenda pernah ada suatu negara atau kerjaan yang sudah menganut faham monotheos. Yang diapit oleh dua Samodra yakni Samudra Hindia dan samudra Pasicik. Negera tersebut disebut negara Hartharanus. Dimana Prabu Heru Cakra sebagai rajanya. Pada masa ini bahasa resmi kerajaan bernama bahasa Ingsun Sabda yang biasa disebut dengan akronim Sun-Da. Dipercaya bahwa bahasa Sun-Da adalah bahasa kerajaan yang dipakai saat itu. Pulau Jawa adalah merupakan daerah kapital dari kerajaan Hartharanus. Layaknya sebuah bahasa, maka setiap bahasa memeiliki charakter sebagai sarana untuk berkomunikasi tulis. Dalam kenyataanya aksara Sun-Da hingga saat ini masih ada dan dimiliki oleh mereka yang berusaha untuk melestarikan agar tidak punah. Meski mereka sudah tidak bisa membacanya lagi.
Pangeran Penganpun adalah satu diantara kerabat prabu Heru Cakra yang namanya tetap hidup sampai saat sekarang. Dimana ilmu yang digelar oleh Pangeran Pengampun adalah ilmu pengharkatan energi yang berbasis pada hubungan urat syarat yang berhubungan dengan setiap ruas tulang manusia. Khususnya Ruas tulang belakang dari mulai tulang ekor sampai dengan tulang tengkorak. Ilmu tersebut dikenal dengan istilah Gelang Naga (Gelang tenaga). Konon dinasti Shambala dari Tibet mempelajari ilmu ini melalui pertukaran budaya pada masa kejayaan Sriwijaya. Yang kemudian dikenal dengan ilmu Kala Cakra..
Jelasnya bahwa keilmuan Gelang Naga (gelang tenaga) yang membangkitkan (harkatan /herkaton) energi melalui ring-ring dari disetiap ruas tulang manusia. Dimana setiap disetiap ring ruas tulang terhubung dengan urat syaraf yang berhubungan dengan organ organ vital manusia. Yang dalam pengertianya jika energi ini mengalami hambatan, maka ada bagian spesifik tubuh yang tidak teraliri oleh energi yang dirasakan sebagai rasa sakit di organ tersebut yang terasa tidak nyaman.
Masuknya agama Hindhu dan Buddha ke Jawa, menyebabkan keilmuan yang berasal dari Pangeran Pengampun semakin maju bahkan beredar keluar pulau Jawa. Namun lafads Pengampun sangat sulit diucapkan bagi orang diluar Jawa. Sehingga pemujaan terhadapa Pangeran Pengampun hanyalah terdengar seperti gumanan / lafads yang berbunyi Houm houm houm). Demikian pula setelah Nusantara dimasuki agama Islam pemujaan terhadap Pangeran Pengampun disebut sebagai Waliullah wakil Kesatu. Dari sekian banyak ilmu hikmah yang diajarkan oleh para Wali banyak menyebutkan Pangeran Pengampun Waliullah wakil kesatu
Sehingga secara jelas bahwa legenda Pangeran Pengampun tetap hidup dimulai dari zaman Pra Hindu Budha sampai saat sekarang. Sosok Pangeran Pengampun adalah tokoh yang tidak masuk dalam catatan sejarah dan namanya hidup dimasyarakat maka beliau menjadi tokoh legenda. Akan tetapi bagi mereka yang mempelajari ilmu-ilmu hikmah akan menemui sebutan Pangeran Pengampun waliullah wakil kesatu didalam mantra2 tertentu.
Di tatar Sunda (parahiangan), dipercaya bahwa Pangeran Pengampun pernah hidup di Bantar Kawung Cianjur Jawa barat. Sedangkan di Jawa Tengah Pangeran Pengampun dipercaya pernah hidup di masa kerajaan Hartharnus. Dan dihormati namanya oleh para Wali dengan sebutan Waliullah wakil Kesatu yang artinya Wakil yang berkaromah yang berkedudukan diatas para wali.
Kesimpulan sementara: Pertama. Bahwa di pulau Jawa ada bahasa kesatuan yang disebut Bahasa Sun-da (bahasa Ingsun Sabda). Kedua. Keilmuan tentang energi berkaitan dengan energi yang memancar / merambat dari settiap ruas tulang manusia khususnya ruas ruas tulang punggung. mengalir melalui urat syarat menuju organ organ tubuh yang vital. Ketga: banyak versi tentang legenda Pangeran Pengampun yang beredar di masyarakat. Keempat. Negara Hartharanus jika dibaca dari belakang menjadi Nusantara. Kelima. Dalam spelling orang Barat kata Hartharnus menjadi Atlantis. Yang dipercaya oleh orang Barat sebagai benua yang hilang dan benua yang memiliki peradaban sangat tinggi.

Kelicikan Kelicikan Ahli Sejarah Belanda Jilid 2, Mengadu Domba Nusantara


   C.C. Berg melakukan studi dengan tujuan agitasi budaya ke etnis terbesar Nusantara, Jawa dan Sunda. Lebih dari 40 % penduduk Nusantara, adalah etnis Jawa, 20 % etnis Sunda, sedangkan sisanya 40 % merupakan campuran dari 400 etnis lain yang ada di seluruh Indonesia. Dengan membenturkan kedua suku terbesar di Indonesia ini pemerintah kolonial Belanda akan dengan mudah menguasai Nusantara.
Strategi licik Belanda ini terlihat jelas. Jika melihat waktu pembuatan kidung Sunda (di Jawa Barat) dan Sundayana (di Bali), terlihat jelas kaitan kidung ini, dengan jangkauan ekspansi penyatuan Pulau Jawa Bali yang dirancang Sultan Agung. Dengan menumbuhkan semangat anti etnis Jawa, diharap daerah kekuasaan Sultan Agung tidak meluas. Tahun pengumuman penelitian CC. Berg dilakukan pada tahun 1828,  diarahkan untuk tujuan yang sama, membatasi  daerah sebaran Perang Diponegoro.
Prof. Dr. Cristian Snouch Horgronye adalah contoh inspirator strategi Kuda Troya Belanda di Aceh. Berpura-pura masuk Islam dan menimba ilmu di Mekkah, Haji Snouch, membuat ratusan atau bahkan ribuan Hadits palsu.
Tujuan utama Snouch, menghancurkan perjuangan rakyat Aceh dari dalam. Dari satu surau ke surau Snouch mengkampanyekan hadits palsu yang melemahkan perjuangan rakyat. Pada kisaran 1900-an pejuangan utama rakyat Aceh berhenti dengan gugurnya Teuku Umar (1899), Cut Nya’Dien (1905) dan keluarga. Akan tetapi seluruh pertempuran Aceh baru berhenti pada tahun 1942, ketika Jepang mengalahkan Belanda.
Setelah Proklamasi kemerdekaan, Westerling dengan arahan ratu Belanda, mengangkat kepercayaan kedatangan Ratu Adil. Sebuah pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang didominasi oleh pasukan elit baret merah Belanda sempat membuat kocar-kacir petahanan TNI di Jakarta dan Bandung. Puluhan prajurit TNI tewas di tangan pasukan elit baret merah. Akan tetapi Ratu Adil buatan ini, berhasil dipukul mundur dan dihancurkan.
Pemerintah Kolonial Belanda, memiliki strategi yang sangat cerdik dalam menguasai Nusantara. Selain memanfaatkan strategi devide et impera yang terkenal itu, Belanda juga menggunakan strategi perang Trojan Horse yang sangat terkenal pada Yunani kuno. Kisah Romantisme tendensius Perang Bubat adalah salah satu strategi kuda troya yang digunakan oleh Belanda untuk memecah etnis Sunda Jawa. Peristiwa  silang pendapat di lapangan Bubat dipelintir dan diselewengkan untuk tujuan strategi pecah belah. Silang pendapat yang tidak pernah memakan korban jiwa, dari pihak manapun di lapangan Bubat. Dan ironisnya, Belanda berhasil menanamkan fiksi trauma ini sampai ratusan tahun kemudian. Sampai saat ini masih banyak yang percaya peristiwa pembantaian Bubat terjadi. Bahkan rasa dendam masih membara pada sebagian etnis suku Jawa dan Sunda.

Kelicikan Kelicikan Ahli Sejarah Belanda Jilid 1, mengadu domba Nusantara

Berbagai bukti sejarah berhasil mengungkap kelicikan Pemerintah Kolonial Belanda dalam mendramatisir Peristiwa Sejarah Perang Bubat. Dengan dukungan penelitian ahli sejarah yang diarahkan. Pemerintah Kolonial Belanda berharap terjadi perpecahan besar di Indonesia antar dua suku utama yang ada di Indonesia. Detil peristiwa Perang Bubat sendiri baru dipublikasikan di Belanda oleh Prof Dr. C.C. Berg pada tahun 1828 dari Kitab Kidung Sundayana (Bali) dan Kitab Kidung Sunda (Jawa Barat). Tahun publikasi penelitian ini adalah tahun ketika di Jawa Tengah sedang berkobar Perang Diponegoro (1825-1830). Sebuah upaya provokatif Kolonial Belanda untuk membendung Perang Diponegoro yang terindikasi meluas ke arah Jawa Barat. Simpati dari warga muslim Sunda untuk mendukung Pangeran Diponegoro pada saat itu sudah mulai terlihat. Dan jika dibiarkan maka perang Diponegoro akan meluas ke arah Jawa Barat, yang notabene memiliki hubungan batin agama Islam yang kuat dengan Pangeran Diponegoro.
       
Kidung Sunda sendiri memiliki kerangka waktu pembuatan, pada kisaran tahun 1628-1629, pada saat Sultan Agung Hanyokrokusumo sedang menghadapi pertempuran dengan VOC Belanda di Batavia. Pasukan Mataram yang hadir ke Jawa Barat dihadang oleh Belanda dengan berbagai macam cara. Diantaranya dengan kekuatan budaya Kidung Sunda, Cerita Parahiyangan, dan juga Naskah Wangsakerta. Dengan membangkitkan semangat kebencian antar etnis, Belanda berharap pasukan Mataram dapat dipukul mundur oleh kekuatan sentimen romantisme Sunda. Dalam sejarah, bentrok antara pasukan Mataram dan Sunda terjadi juga di beberapa lokasi. Pasukan Mataram sempat berperang dengan pasukan Sunda yang terinspirasi dengan kidung sedih buatan ini.

Sumber Pararaton yang dijadikan rujukan, tidak menceritakan secara detil Perang Bubat. Dalam Pararaton hanya ada informasi lokasi lapangan Bubat tanpa kisah detil pertempurannya. Banyak ahli sejarah yang mengutip penelitian C.C. Berg tanpa mempertimbangkan aspek kebenaran sejarah. Bahkan ahli sejarah dalam negeri banyak yang berhasil ditipu oleh Profesor C.C. Berg. Kitab resmi Negarakertagama atau Desawarnana yang ditulis oleh pujangga keraton Majapahit Mpu Prapanca, tidak menceritakan Perang Bubat. Padahal banyak kisah yang jauh lebih memalukan lainnya, ditulis dalam Negarakertagama. Kekalahan Jayanegara dari Pemberontak Ra Kuti. Kisah pembunuhan Brawijaya II ditangan Ra Tancha, jauh lebih memalukan Majapahit, akan tetapi tertulis resmi dalam Negarakertagama.

Jejak Pasukan Mataram Yogyakarta : Hamengkubiwono I / II

Hamengkubuwono I
Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I (1755 - 1792 M) dan Hamengku Buwono II (1792 - 1810, 1812 M) di Kraton Yogyakarta, keberadaan prajurit tempur menjadi kesatuan militer yang sangat penting. Tidak kurang dari 15 kesatuan abdi dalem prajurit pernah ada pada awal lahir dan perkembangan kraton. Pada saat berperang melawan VOC Londo Pangeran Mangkubumi telah mempunyai bregada prajurit yang handal (Prajurit Mantrijero), yang berhasil membunuh Mayor Clereq di pertempuran Jenar pada tanggal 12 Desember 1751 atau 22 Sura tahun Jimawal 1677 J. Di dalam Serat Kuntharatama (G.P.H. Buminata, 1958) kejadian ini disebutkan sebagai berikut. "Kocapa barisanipun S.D.I.S Kangjeng Susuhunan dipun tempuh senapatining bangsa Walandi nama Mayor Clereq, ing riku saya rame sanget ungkih-ingungkih, dangu-dangu mayor Clereq kesisan wadya, sabab kathah ingkang pejah sarta tatu, punapa dene kaplajar nilar senapatinipun, Sareng Mayor Clereq katingal ngalela, boten talompe abdi Dalem Mantri Lebet (Mantri Jero, Pen.) nama Wiradigda anjangkah amaos, anamung cuwa dene ngengingi pundhak ingkang linapis ing kere waja. Mayor Clereq sareng sabetipun dhawah lajeng trengginas narik pistol, anamung sinarengan panjangkahipun mantri lebet nama Prawirarana, nyuduk ngengingi jangganipun. Wusana Mayor Clereq dhawah kalumah lajeng dipun kakahi dening mantri wau, tumunten dipun sembeleh. Sapejahipun senapati Walandi nama Mayor Clereq sadaya sami lumajar rebat gesang."
Terjemahannya: Tersebutlah Barisan pasukan SDIS Kanjeng Susuhunan berhadapan langsung dengan komandan pasukan Belanda bernama Mayor Clereq. Terjadi pertempuran jarak dekat yang sengit, lama kelamaan Mayor Clereq kehabisan serdadu, sebab banyak yang mati terbunuh atau melarikan diri, meninggalkan komandannya. Mayor Clereq terlihat lengah, segera seorang abdi Dalem Mantri Lebet (Mantri Jero, Pen.) bernama Wiradigda maju ke depan menusuk dia. Tetapi dia kecewa sebab tusukannya mengenai baju besi di pundak. Mayor Clereq setelah melihat serangan lawan gagal ia segera menarik pistol mau membunuh abdi dalem prajurit tadi. Untung saat itu ada abdi dalem Mantri Lebet lain bernama Prawirarana, dengan tangkas menusuk leher komandan serdadu Belanda itu. Mayor Clereq jatuh terlentang kemudian diburu oleh dua Mantri tadi lalu dibunuh. Setelah komandan Belanda itu mati, serdadu Belanda yang masih hidup cepat-cepat melarikan diri dari medan perang.
Dari potongan kisah di atas tampak sekali kalau satuan prajurit merupakan perangkat strategi dan taktik pertahanan serta representasi dari kekuatan politik seorang raja. Tumbuh dan berkembangnya sebuah dinasti baru juga tidak terlepas dari keberadaan kesatuan-kesatuan tersebut. Pada masa Hamengku Buwono I - Hamengku Buwono II kegiatan penjelajahan prajurit Kraton ke wilayah-wilayah mancanegara masih terus dilakukan untuk mempertahankan dominasi dan menunjukkan kekuatan militer kerajaan ini.

Ada beberapa kelengkapan strategis prajurit terutama dapat dilihat dari berbagai strategi dan taktik klasik yang diterapkan dalam peperangan yang disebut gelar perang. Dalam Serat Kuntaratama disebutkan antara lain "gelar garudha nglayang dan sapit urang". Strategi gelar garudha nglayang diterapkan dalam pertempuran di daerah Jenar Purworejo tahun 1751 M (1677 Jw), sedangkan sapit urang diterapkan dalam pertempuran di daerah Madiun (Buminata, 1946).

Untuk mendukung kegiatan militer tersebut, sarana dan prasarana prajurit serta persenjataan yang dimiliki menjadi kelengkapan penting dan sangat diperhitungkan oleh pihak-pihak luar. Persenjataan prajurit terdiri atas beberapa jenis senjata api (meriam, senapan, dan pistol) dan senjata tradisional antara lain tombak, keris, panah, pedang, dan alat pelindung badan berupa tameng. Di samping itu, juga terdapat kelengkapan pendukung yaitu terompet, bendhe dan simbal (kecer), sebagai alat musik (unen-unen) yang dibunyikan sebagai pertanda dimulainya suatu kegiatan prajurit. Beberapa simbal Keraton kemudian diangkat sebagai pusaka dengan nama, Kiai Sima, Kiai Udan Arum, dan Kiai Tundhung Mungsuh.

Kelengkapan dan besarnya kesatuan prajurit pada masa Hamengku Buwono I menjadi tolok ukur dari kekuatan militer kerajaan. Terbukti pada tahun 1781 M Kumpeni Belanda melalui Gubernur J. Siberg pernah meminta bantuan prajurit Kraton Yogyakarta berjumlah 1132 orang untuk dikirim ke Batavia. Rincian jumlah tersebut adalah 1000 orang prajurit biasa, 100 orang dari Putra Mahkota, dan sisanya perwira. Dalam Babad Mangkubumi (Pupuh LXXII, Pangkur) disebutkan :"... kang eyang Jenderal, ing mangke karsanya ugi, nuwun bantu Kangjeng Sultan, pratiwa keh sewu tumameng wajik." (Kakek Jenderal, maksudnya Gubernur Jenderal, punya maksud agar Kanjeng Sultan membantu dengan seribu prajurit yang dilengkapi perisai). Prajurit-prajurit Kraton Yogyakarta tersebut sedianya dipersiapkan untuk menghadapi serbuan tentara Inggris yang telah menyatakan perang dengan Belanda dan telah mengadakan berbagai serangan di kawasan Eropa serta Asia Tenggara. Masa tugas kesatuan prajurit kraton di Batavia sampai dengan bulan Oktober 1783 M. Setelah prajurit kraton selesai bertugas, Hamengku Buwono I kemudian mendapatkan hadiah 12 meriam dari Residen Yogyakarta (Ricklefs, 2002).

Untuk menunjukkan kekuatan pertahanan kerajaan, di samping memiliki kesatuan prajurit saat itu Keraton juga mendirikan sarana untuk pertahanan yaitu benteng pertahanan (baluwarti) yang mengelilingi area cepuri kedhaton dan dilengkapi dengan parit keliling (jagang) di sisi luarnya. Benteng Kraton tersebut dibangun pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I oleh Putra Mahkota (kelak naik tahta menjadi Hamengku Buwono II) pada tahun Jimakir, 1706 Jw. Benteng baluwarti didirikan dengan candrasengkala "Rasa Sunyo Lenggahing Panunggal" atau tahun 1782 M dengan suryasengkala "Paningaling Kawicaksanan Salingga Bathara" (Tashadi, ed., 1979). Sebagai penanggungjawab kegiatan pembangunan benteng adalah patih putra mahkota, yaitu Tumenggung Wiraguna (Ricklefs, 2002). Keberadaan benteng dalam strategi pertahanan merupakan salah satu fasilitas penting yang menyatu dengan tugas-tugas keprajuritan untuk perlindungan. Keberadaan benteng Kraton tersebut pernah mendapat perhatian dari Gubernur Belanda J. Siberg (1780 -1787 M). Ia pada tahun 1785 M mengirimkan tim pengamat benteng pertahanan yang terdiri para taruna maritim Belanda dari Semarang. Di samping itu, ketika Gubernur Jan Greeve melakukan perjalanan ke Yogyakarta antara tanggal 5-15 Agustus 1788 M, pada 6 Agustus ia melakukan pemeriksaan dengan mata kepala sendiri ke benteng tersebut (Ricklefs, 2002).

J. Greeve yang datang bersama Residen Surakarta Hartsinch juga menyaksikan kesatuan-kesatuan prajurit yang terlatih dan menyambutnya dengan salvo senapan dan meriam. Bahkan ketika berkunjung ke sebuah Pesanggrahan Putra Mahkota yaitu Rejawinangun di bagian sisi timur kraton, juga melihat keberadaan kesatuan-kesatuan prajurit berkuda putri dari Kadipaten. Berdasarkan bukti catatan kunjungan yang ada dalam Dagregister 20 Agustus 1788 tersebut, kepada mereka juga dipertontonkan olah keprajuritan dalam memburu kijang untuk ditangkap hidup-hidup (TBG, vol. 27: 1882). Kegiatan tersebut dilakukan di tempat perburuan kijang yang berada di sebelah selatan kraton, di Krapyak.
Pada masa Hamengku Buwono II, prajurit berkuda putri tersebut dinamakan kesatuan Langenkusuma, yang keberadaannya dipusatkan di Pesanggrahan Madyaketawang. Di samping itu, prajurit Langenkusuma yang bersenjata senapan juga melakukan latihan (gladhen) di Alun-alun Pungkuran yang berada di sebelah selatan kraton. Dalam Serat Rerenggan Karaton, Pupuh XXII, Sinom, disebutkan : "Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati, pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di, angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran." (terjemahannya: di Pesanggrahan Madyaketawang, dan datanglah Sri Bupati (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan, pemimpin pasukan Langenkusuma (yang perempuan itu), mirip penampilan prajurit lelaki, dilihat dari jauh, tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat latihan di ibukota, yaitu di Alun-alun Pungkuran atau Alun-alun Selatan).

Senin, 28 Januari 2013

Makam Ambo Mayangsari, Istri Pangeran Purbaya Putra Sultan Ageng Tirtayasa Banten 1685



Makam istri Pangeran Purbaya ini terletak di Kampung Cimpaeun Tapos Depok Jawa Barat, Pangeran Purbaya adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa Banten yang berperang dengan anaknya sendiri Sultan Haji (Putra mahkota yang takut tahtanya dialihkan ke Pangeran Purbaya) yang berdiri dipihak VOC Belanda, Mbah Nyai Ambo Mayangsari masih keturunan dari Ki Kartaran atau Purwagalih keturunan Prabu Siliwangi yang bermakam di dalam kompleks Kebun Raya Bogor. Peranan Ambo Mayangsari dalam peperangan Banten dengan VOC sangat vital, sebab beliaulah yang mengatur logistik dan pengadaan dana pelarian, dua panglima lainnya adalah Mbah Riin (Arifin) Reksobuwono yang dimakamkan di atas rumah potong hewan Tapos dan Mbah Dalem Kuning Lie Suntek yang dimakamkan di tepi mata air Kali Sunter Cilangkap Tapos Depok. Ambo Mayangsari adalah tokoh pejuang perempuan yang mampu menyadarkan arti kemerdekaan sehingga Letnan VOC Untung berbalik memusuhi tentara VOC yang ikut menangkap Pangeran Purbaya, bahkan Letnan VOC Kueffler mati ditusuk bayonet Letnan Untung karena menghinakan Pangeran Purbaya dan Ambo Mayangsari yang telah terikat. Letnan Untung akhirnya menuju Mataram Surakarta ke Jawa Timur karena mendapat mandat  Pangeran Purbaya untuk mengawal istri Pangeran Purbaya yang lain yaituNyai Gusik Kusuma, putri dari adipati Nerangkusumo dari Mataram Surakarta. Gambar diambil pada tanggal 28 Januari 2012, tampak dalam gambar jurukunci makam , Bapak Naih.

Minggu, 27 Januari 2013

Ki Ageng Mangir Pembayun dan keturunannya : Makam Raden Bagus Panji Wanayasa di Setu Jatijajar Tapos Depok

Cungkup Makan Raden Panjiwanayasa, Putra Ki Bagus Wanabaya Cucu Ki Ageng Mangir
Danau Jatijajar, peristirahan terakhir perwira intelejen Mataram1629
Raden Panjiwanayasa menyamar menjadi tehnisi kereta kuda di alam Benteng Batavia 1626 -1629
Nisan Cicit Panembahan Senopati Mataram
Makam Raden Panjiwanayasa, Pejuang 2 Sultan : Mataram dan Banten , prajurit sandi Mataram yang bersama ayahnya Ki Bagus Wonoboyo menyamar sebagai pemilik bengkel kereta kuda didalam benteng VOC Belanda tahun 1625 - 1629

Setu Jatijajar, dikeruk VOC untuk mencari harta karun Banten
Terbaring dikedamaian hutan Setu Jatijajar, biarlah nama besarmu hanya akan dikenang oleh kami anak cucumu, sebab dirimu dan leluhurmu berwasiat tak ingin dikenang jasanya, Padahal eyang putrimu  Roro Pembayun adalah patriot bangsa, padahal Ki Bagus Wonoboyo ayahmu adalah patriot sejati, padahal Utari Sandijayaningsih kakakmu adalah patriot bangsa, aku terharu disisi makammu, yang teduh dan sejuk, biarlah hanya kami keturunanmu yang mengenangmu sebagai patriot Mataram, sebagai banteng Mataram yang bertempur membela dua Sultan, dua-duanya patriot bangsa, Sultan Agung di tahun 1629 dan Sultan Ageng Tirtayasa di tahun 1682 di palagan Kali Sunter, engkau abadikan hidup dan perjuanganmu. Foto diambil tanggal 28 Desember 2012, jam 11.00 .

Harta Karun VOC di Gunung Salak. By Hasnan Habib Kota Depok

Gunung Salak, bagi warga jakarta dahulu masih bisa melihat dengan jelas sosok gunung salak dari kejauhan,disaat udara jakarta masih bersih dari asap knalpot, saat ini gunung salak masih bisa dilihat disore hari saat udara jakarta bersih.Gunung Salak memang tidak setinggi Gunung Gede, tetangganya. Namun tingkat kesulitan yang dimiliki Gunung Salak begitu angker untuk didaki. Termasuk keberadaan Kawah Ratu yang ada di wilayahnya.

Gunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur, yakni jalur Wana Wisata Cangkuang Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, Wana Wisata Curug Pilung, Cimelati, Pasir Rengit dan Ciawi. Belum lagi jalur-jalur tidak resmi yang dibuka para pendaki ataupun masyarakat sekitar.
Banyaknya jalur menuju puncak Gunung Salak dan saling bersimpangan tentu membingungkan para pendaki. Banyak diantaranya yang kemudian tersasar dan menghilang.

Banyaknya jalur pendakian banyak pula mitos atau kisah yang menyelimuti Gunung Salak. Selain kawasan ini dianggap suci bagi kalangan masyarakat Sunda wiwitan karena dianggap sebagai tempat terakhir Prabu Siliwangi.
Lokasi ini ternyata juga disebut banyak menyimpan harta karun peninggalan Belanda. Harta itu berupa emas murni yang dimasukan di dalam peti. Dan peti-peti itu kemudian dikubur di empat titik terpisah di area Gunung Salak.
Harta tersebut sengaja di kubur VOC, karena takut diambil tentara Jepang yang masuk ke Indonesia 1942. “ Mereka (VOC) takut emas-emas yang mereka kumpulkan direbut Jepang yang waktu itu berusaha mengusir Belanda dari Indonesia,” ujar tokoh masyarakat Cidahu, Sukabumi.Setelah sukses menguburnya, mereka kemudian membuat peta penunjuk arah yang disertai tanda-tanda fisik lokasi. Waktu itu VOC berharap ketika mereka datang lagi ke Indonesia harta yang disimpan bisa diambil kembali. Tapi kenyataanya setelah Jepang keluar, Indonesia kemudian merdeka tahun 1945. Akhirnya serdadu Belanda dan VOC tidak bisa masuk lagi ke Indonesia. Tentu saja harta-harta yang dikubur itu tidak bisa diambil kembali. Kabar tentang adanya harta timbunan itu di Gunung Salak sempat beredar tahun 1953. Waktu itu, sejumlah warga Cidahu mendengar kalau harta karun itu di kubur di wilayah kaki Gunung Salak tersebut. Info yang mereka terima tanda fisik tempat penyimpanan harta itu adalah tembok yang tebalnya 120 centimeter persegi.


Ada lagi yang mengatakan kalau disekitar Kawah Ratu ada juga harta yang ditimbun. Alhasil, karena kabar tersebut, hampir seluruh warga Cidahu beramai-ramai mencarinya. Setiap ada tembok sisa peninggalan Belanda mereka hancurkan. Dalam beberapa bulan, tembok sisa pembatas perkebunan milik Belanda dengan penduduk pribumi saat itu, langsung ludes menjadi puing.


Sementara warga yang coba mencari harta itu di sekitar Kawah Ratu banyak yang tewas karena menghadapi medan yang berat di Gunung Salak. Arwah-arwah inilah yang kabarnya bergentayangan di sekitar Kawah Ratu.


Kini kabar harta itu kemudian muncul kembali pertengahan 2006 lalu. Bajari saat sedang menunggu warung miliknya, didatangi tiga pria. Mereka mengaku berasal dari Jakarta. Bahkan salah satu diantaranya mengaku salah seorang cucu soekarno dari Guntur, anak sulung Soekarno.


Tiga pria itu menanyakan tentang beberapa tanda fisik, yang katanya tempat penyimpanan harta karun yang sempat menghebohkan warga Cidahu 1953 lalu. Tanda-tanda fisik yang tertera di peta adalah berupa aliran sungai, pohon bambu, pohon damar dan sebuah tembok berukuran 120 centimeter persegi.


Namun oleh Bajari dikatakan tanda-tanda yang tertera di peta sudah tidak ada lagi. Ukuran wilayah yang tertera di peta tersebut juga sudah banyak yang bergeser sehingga sulit untuk melacaknya.


Menurut pengakuannya Bajari di sekitar Gunung Salak memang banyak harta yang ditanam oleh para pengusaha asal Belanda yang kabur sebelum pendudukan Jepang ke Indonesia. Alhasil kisah emas VOC membuat Gunung Salak semakin misterius.


Di wilayah sekitar Halimun Bogor dan sekitarnya ada benteng-benteng milik Prabu Siliwangi yang tak kelihatan, pusat kerajaan ada di Gunung Salak, sebenarnya ini sudah menjadi rahasia umum. Catatan sejarah soal Kerajaan Siliwangi pasca kehancurannya setelah diserang Kesultanan Banten pada tahun 1620-an, adalah catatatan pertama kali dari Scipio yang melakukan ekspedisi sekitar tahun 1687 mencatat ada ratusan macan gembong atau harimau bertempat tinggal di sebuah bangunan dekat Kebun Raya Bogor sekarang, selain itu ditemukan rawa yang berisi badak di sekitar Sawangan, dinamakan Rawa Badak dimana di ujung Rawa Badak ditemukan juga situs parit dan bekas tembok keraton yang dijadikan sarang macan, sekarang sarang macan ini dikenal pertigaan beringin di Sawangan. Selain catatan-catatan arkeologi, ada catatan mistis tentang segitiga Bogor.


Ada kecenderungan suatu pola dimana pesawat jatuh di tempat yang sama, di tahun 1966 helikopter yang ditumpangi Laksamana RE Martadinata jatuh, sampai sekarang penyebabnya tidak ketahuan. Lalu banyak pesawat jatuh di sekitar lokasi yang sama sekitar gunung salak dan gunung halimun.


Ada tiga gunung yang dianggap angker di masa Mataram Sultan Agung, pertama Gunung Merapi, Kedua Gunung Slamet dan Ketiga Gunung Halimun, diantara ketiganya Gunung Halimun-lah yang dianggap paling angker karena memiliki misteri luar biasa. Sampai saat ini banyak peristiwa jatuhnya pesawat di sekitar segitiga Gunung Halimun-Gunung Salak-Gunung Gede.


Daya energi ketiga gunung itu ada di Istana Cipanas, sekitar gedung yang dibangun Bung Karno namanya Gedung Bentol, tempat dimana Bung Karno selalu bermeditasi sejak dia menempati Istana Merdeka di tahun 1949. Di belakang Gedung Bentol ada sumber air panas, yang merupakan energi dari Siliwangi.


Dilamarnya Puteri Dyah Pitaloka yang kecantikannya serupa bidadari dan mewariskan kecantikan yang bisa dilihat pada gadis-gadis Bandung, Cianjur dan Sumedang sekarang ini adalah rahasia ‘Wahyu Nusantara’ yang dimiliki kerajaan Pajajaran, dimana Gadjah Mada ingin memilikinya “Siapa yang menguasai Wahyu Nusantara dia akan menguasai Indonesia’, penguasaan wahyu nusantara ini menimbulkan konflik antara Hayam Wuruk yang berpendapat bahwa wahyu itu bisa diambil dengan cara Ken Arok yaitu menikahi puteri sang Raja, di satu sisi wahyu bisa diambil dengan cara menaklukkan Pajajaran dan membangun kerajaan Majapahit Barat di Pakuan.


Tanpa disengaja menurut kepercayaan banyak orang Bung Karno mengawini puteri Bandung yaitu : Inggit Garnasih yang ditengarai masih keturunan Raja Siliwangi dimana wahyu Nusantara bersemayam di tubuh Inggit Garnasih, dan Bung Karno keturunan langsung Brawijaya V mengobarkan semangat Nusantara bermula di Bandung pada rapat politik Radicale Concentratie di Bandung tahun 1922. Bandung adalah kota terakhir dimana Prabu Linggabuana menyucikan diri di danau Bandung sebelum berangkat ke Majapahit dan kelak beristirahat di Pesanggrahan Bubat dimana kemudian datang Gadjah Mada dan terjadilah insiden pembunuhan dan pembantaian besar-besaran rombongan Pajajaran.


Sisa-sisa dari Laskar Perang Bubat melarikan diri ke Gunung Salak, sementara sisa-sisa dari punggawa Siliwangi yang diserang Banten lari ke Gunung Halimun. Tempat dimana seringnya pesawat menghilang, ini mirip dengan segitiga Bermuda dan segitiga formosa.


Gunung Halimun dan Gunung salak ini mirip Gunung Lawu yang disucikan Majapahit, tak boleh ada yang melintasi diatasnya, burungpun bisa mati bila melewati satu titik tanah yang sakral.


Apakah kejatuhan Pesawat Sukhoi ini sama dengan medan magnetis di Segitiga Gunung Halimun-Salak-Gede? seperti medan magnetis yang ada di segitiga bermuda dan segitiga formosa? Wallahu’alam…….


Sabtu, 26 Januari 2013

Misteri makam Ambo Mayangsari kp Cimpaeun Tapos Depok , Sumur Gedhe dan Sumur Teblong. Harta karun Banten ada di Cimpaeun Tapos Depok ?






Berkunjunglah kemakam Ambo Mayangsari, istri dari Pangeran Purbaya yang dimakamkan di wilayah Cimpaeun Tapos Depok, pejuang wanita yang tangguh dan ulet, setia pada suami dan perjuangannya, bertafakurlah disekitar makam dimana ada sumur gedhe dan teblong, konon dibawah kordinasi wanita inilah harta karun kerajaan Banten disembunyikan untuk diselamatkan di wilayah Tapos Depok, disepanjang kali Cikeas dan kali Sunter.

Jumat, 25 Januari 2013

Ki Ageng Mangir Wanabaya III : Dibunuh oleh Raden Ronggo lewat konspirasi, bukan oleh Panembahan Senopati

Ki Ageng Mangir dan wilayah Mangir di gerbang barat Mataram tidak perlu diperangi malah kalau bisa dirangkul demikianlah kesimpulan Patih Mondoroko, Patih Mondorokolah yang mengusulkan kepada Panembahan Senopati agar Ki Ageng Mangir ditarik kedalam barisan kekuatan (Aliansi) Mataram Mangir, mengingat kesaktian dan pengaruhnya di telatah Mataram bagian Barat, sebagai murid Sunan Kalijaga langsung, sangat mustahil kalau beliau mengawinkan cucu tercintanya dengan seorang non Muslim yang terjadi adalah proses dakwah Mataram melalui kesenian di wilayah Mangir, oleh karena itu Ki Ageng Mangir Wonoboyo III adalah menantu syah dari Panembahan Senopati, pengislamanya adalah proses panjang yang disetujui dan direstui sepenuhnya oleh Panembahan Senopati dan berakhir dengan pernikahan antara Roro Pembayun dengan Ki Ageng Mangir

Watu Gilang sebagai salahsatu saksi bisu kejadian itu adalah sebuah batu tempat shalat bukan singgasana Panembahan Senopati, adalah sangat aneh mendeskripsikan singgasana dengan sebuah batu tempat shalat, tidaklah mungkin singgasana Panembahan Senopati dari batu pipih hitam setinggi 40 Cm . Mengenai janji menerima Mangir , seorang raja, tidaklah layak mengingkari janjinya menerima Mangir sebagai menantu dihadapan pisowanan agung (kecuali orang lain yang menuliskan kisah palsunya) , Pembunuhan Ki Ageng Mangir pastilah dilakukan oleh orang lain (diduga Raden Ronggo, putra Panembahan Senopati yang memang kontroversial keberadaannya) pembunuhan dilakukan saat Ki Ageng Mangir sedang shalat diatas watu Gilang,ini menandakan hubungan Ki Ageng Mangir yang sangat dekat dengan Panembahan Senopati, pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Raden Ronggo dilakukan dengan watu gatheng yang dihantamkan pada tengkuk Ki Ageng Mangir ketika beliau sedang sujud. oleh karena itu penulis setuju bahwa Ki Ageng Mangir meninggal akibat pecahnya tengkorak Ki Ageng Mangir. Bila sidang pembaca sempat menengok lokasi Watu Gilang dan letak batu Gatheng di Kotagedhe maka pembaca akan setuju dengan penulis bahwa sangat besar kemungkinan Ki Ageng Mangir terbunuh saat sedang shalat. Raden Ronggo membunuh Ki Ageng Mangir karena dipengaruhi oleh telik sandi para adipati seperti Blambangan, Madiun dll yang sedang melakukan perlawanan kepada Panembahan Senopati, dengan cara dipanas panasi bahwa Ki Ageng Mangir jauh lebih sakti dari Raden Ronggo di Mataram, padahal maksudnya adalah kalau Ki Ageng Mangir terbunuh maka kekuatan Mataram yang bertambah dengan kekuatan Mangir akan sangat berkurang.
Berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati di singgasananya adalah sangat tendensius dan mengaburkan kisah sebenarnya yaitu kisah Pengislaman Ki Ageng Mangir oleh Roro Pembayun dibantu Patih Mondoroko atau ki Juru Mertani, Inilah alasan mengapa para orientalis Belanda termasuk HJ De Graff membiarkan cerita sejarah ini berkembang, kemungkinan besar dengan pertimbangan bahwa perlu adanya asumsi keburukan Panembahan Senopati membunuh Ki Ageng Mangir adalah bukti kepengecutan dan kebengisan Panembahan Senopati sangatlah sesuai dengan politik "divide et empera" alias politik adu domba Penjajah Belanda disaat itu termasuk para profesor sejarah Belanda dan para komradnya di Leiden , Tak heran banyak budayawan baik Islam maupun non Islam yang mendukung kebenaran cerita pembunuhan Ki Ageng Mangir di singgasana raja Mataram, sebagai spara pengikut sejarah Hindia Belanda mereka enggan mencari kebenaran cerita tentang Ki Ageng Mangir itu.

Akhirnya atas perintah Panembahan Senopati raden Ronggo terbunuh secara misterius, diduga Raden Ronggo terbunuh oleh tombak kyai Baru Klinting milik Mangir oleh salah satu kerabat Mangir yaitu Patih Rojoniti diluar benteng kraton Kotagedhe. Tampaknya para kerabat Mangir memahami sebab sebab kematian pemimpinnya itu sehingga tidak timbul gejolak di wilayah Mangir juga mereka sudah diberi kesempatan membalas kematian Ki Ageng Mangir pada pembunuhnya.Sementara situs sejarah peninggalan Mangir berupa arca dan candi hindu yang menunjukkan ki Ageng Mangir adalah seseorang yang sebelumnya menganut agama Hindu, justru memperjelas bahwa akhirnya Ki Ageng Mangir mengikuti jejak putra - putri Brawijaya lainnya yaitu masuk Islam

Sementara Roro Pembayun sebagai pahlawan Mataram oleh ayahnya diungsikan ke tanah Pati tempat kakeknya Ki Ageng Penjawi untuk mengobati duka dan luka hati akibat pembunuhan Ki Ageng Mangir suaminya, selanjutnya roro Pembayun melahirkan Bagus Wonoboyo yang ketika besar diasuh oleh pangeran Benawa putra Jaka Tingkir di Kendal Jawa tengah. Jadi para kerabat Mataram masih selalu melindungi keberadaan Pembayun dan putranya itu, bahkan Pembayun dan Bagus Wonoboyo masih ikut bertempur di Palagan Jepara 1618 bersama Tumenggung Bahurekso (tokoh kesayangan Sultan Agung) menghancurkan pos VOC di Jepara, palagan gerilya Pangeran Jayakarta melawan JP Coen di Batavia yang berbasis di Kali Cikeas/ kali Sunter Tapos Depok 1620 dan terakhir palagan akbar garis pertahanan lawan Benteng Batavia VOC 1628 - 1629 .

Ki Ageng Mangir : Kisah perjuangan Utari Sandijayaningsih cucunya di Batavia 1629

Nisan Makam Utari Sandijayaningsih
Tidak banyak yang tahu kisah ini.  Orang mungkin sudah sering mendengar nama Matahari, tokoh mata-mata wanita legendaris, yang juga seorang penari erotis. Tapi siapa yang pernah mendengar nama Raden Ayu Utari Sandi Jayaningsih? Kisah tentang salah sau pahlawan permpuan Jawa ini lebih mirip mitos tentang intrik politik, sensualitas, sekaligus tragedi yang melibatkan sejumlah nama besar dan pelaku sejarah. Sebagaimana mitos atau tepatnya bagian kisah intelejen, kisahnya tidak pernah benar-benar tercatat dalam sejarah, hanya gaung dan kisah akhirnya yang tercatat tidak sebagaimana jalan perjuangan sebenarnya . Mengambang seperti kabut dan sulit dibuktikan.
Nyimas Utari Sandijayaningsih
Entah mana yang lebih menarik dari Utari Sandijayaningsih, operasi intelijen yang ia lakukan atau latar belakang keluarganya. Yang jelas, keduanya sama-sama menarik. Sri Utari Sandi Jayaningsih adalah cicit dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam yang saat ini dikenal sebagai Kesultanan Yogyakarta. Kisah cinta kakek dan neneknya sangat terkenal di kalangan orang Jawa serta penikmat sastra dan kebudayaan. Ia adalah cucu dari Rara Pembayun dan Ki Ageng Mangir yang terlibat sebuah kisah cinta politis, semacam Romeo dan Juliet ala Jawa.
Cungkup Makam Utari dan Pohon Doyong
Ki Ageng Mangir, dalam sejarah, dicatat sebagai seorang penguasa yang membangkang, tidak mau tunduk di bawah Kesultanan Mataram dengan rajanya Panembahan Senopati. Ia juga sangat kuat, sehingga setiap usaha Mataram untuk menundukkannya selalu saja gagal. Panembahan Senopati dengan bantuan penasehatnya kemudian membuat sebuah siasat, ia mengutus putri sulungnya Rara Pembayun untuk menjalankan sebuah operasi intelijen. Rara Pembayun disuruh menyamar menjadi ‘ledhek’ atau penari jalanan agar dapat mendekati dan memikat Ki Ageng Mangir dengan kecantikannya, lalu menaklukkannya.
Singkat kata, Mangir berhasil dibuat jatuh cinta. Namun di lain pihak, Rara Pembayun ternyata juga benar-benar jatuh cinta. Tugas intelijen yang ia emban, tidak dapat menghalanginya untuk jatuh cinta pada musuh yang seharusnya ia berangus. Meskipun marah, namun Mangir tidak bisa berbuat apa-apa mendengar pengakuan Rara Pembayun kalau ia adalah putri sulung dari Panembahan Senopati. Dalam kondisi Rara Pembayun hamil besar, mereka kemudian datang menghadap Panembahan Senopati.
Menghadap mertua, berarti Mangir harus melepas segala senjata pusakanya (Ki Baruklinting dan Ki Barukuping). Dalam kondisi tanpa pertahanan itulah, ia kemudian dibunuh di depan mata Rara Pembayun. Sampai saat ini, kita masih dapat melihat sebuah batu datar bernama Watu Gilang yang cekung di salah satu sisinya di kompleks Pemakaman Kerajaan Mataram di Kotagede, Yogyakarta. Konon, cekungan tersebut adalah bekas kepala Mangir yang dibunuh dengan cara dibenturkan ke batu saat ia akan ‘sungkem’ pada mertuanya. Di luar versi Mataram tersebut, ada juga beberapa versi lain mengenai bagaimana Mangir terbunuh.Seperti versi Trah Mangir yang menyebutkan bahwa Panembahan Senopati tak pernah membunuh Mangir menantu yang mualaf itu, cerita trentang pembunuhan Mangir adalah sangat tendensius dan menyesatkan . Lepas dari kejadian tersebut, Rara Pembayun disembunyikan dari istana. Demi keselamatan anaknya, konon ia dilarikan ke daerah Pati , di utara Jawa, tempat kakenya , Ki Buyut Penjawi. Dari situ kisah tentang keberadaan Rara Pembayun mulai simpang siur. Namun sebagian orang percaya, bahwa anak Rara Pembayun tersebut adalah seorang laki-laki bernama Bagus Wanabaya.
 Di kemudian hari, Bagus Wanabaya yang seharusnya dibunuh ketika lahir (karena dianggap anak dari seorang pemberontak), bergabung dengan pasukan tentara Mataram yang berperang melawan VOC, dalam perang Jepara-Batavia pada 1618. Pasca perang, anak dan ibu ini hijrah ke daerah Tapos Depok, Jawa Barat.
Di sana, mereka bergabung lagi dengan Pasukan gerilya Pangeran Jayakarta dan komunitas pasukan Mataram yang mengemban tugas telik sandi dari Sultan Agung, Raja Mataram saat itu, untuk menghancurkan VOC di Batavia. Perjuangan inilah yang diteruskan oleh putri dari Bagus Wanabaya yang bernama Utari Sandi Jayaningsih. Cukup panjang memang latar belakang keluarga putri cantik ini. Akan tetapi, sejarah tersebut menambah daya pikat kisah heroiknya sebagai salah satu orang yang terlibat dalam pembunuhan JP Coen, sang Gubernur Jenderal VOC yang tersohor.
Peta Benteng Batavia 1629
Bukankah JP Coen tewas oleh kolera? Ya, itu menurut versi dari catatan VOC, tapi kematian itu misterius dan tidak ada yang benar-benar bisa membuktikannya. Kabarnya, makam JP Coen yang ada di Museum Wayang Indonesia adalah makam kosong. Menurut versi Kerajaan Mataram, JP Coen tewas dalam penyerangan mereka, dan kepalanya ditanam di bawah anak tangga menuju Pemakaman Imogiri Yogyakarta, yang ditandai dengan batu pualam putih di mana Sultan Agung dimakamkan. Versi ini ini tidak menyebutkan detil kematian JP Coen, namun banyak orang percaya bahwa Utari Sandijayaningsih adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian JP Coen.
Kisah heroik Utari Sandi dimulai dari sebuah operasi intelijen rahasia yang dijalankannya bersama pasukan Mataram. Sejarah seakan terulang kembali, sebagaimana dulu neneknya, Rara Pembayun, menyamar sebagai ‘ledhek’, Utari Sandiyaningsih juga menyamar, tapi sebagai penyanyi. Ia menjadi seorang penyanyi di kastil milik JP Coen, yang bertugas untuk menghibur para perwira VOC pada malam hari. Sebagai penyanyi ia berhasil merebut hati JP Coen dan menjadi penyanyi kesayangannya. Lebih daripada itu, ia pun berhasil menjalin persahabatan dengan Eva Ment, istri JP Coen.
Di dalam kastil tersebut ia tidak sendirian, ia diam-diam dibantu seorang pemuda yang sehari-harinya bekerja sebagai juru tulis VOC. Pemuda itu bernama Mahmudin alias Wong Agung Aceh, yang diselundupkan ke VOC melalui kapal dagang Aceh yang disewa untuk mengangkut meriam dari Madagaskar. Karena makam mereka letaknya berdampingan di kampung Tapos kecamatan Tapos Kota Depok, banyak orang yang percaya jika Utari Sandi dan Mahmudin adalah suami-istri.
Empat hari sebelum kematian JP Coen, Eva Ment, istrinya, telah meninggal lebih dulu dalam kondisi hamil tua. Berbeda dengan VOC yang memberitakan bahwa Eva meninggal bersama bayinya saat melahirkan, dalam versi ini Eva dibunuh oleh Sandi Utari dengan menggunakan racun arsenik. Kedekatan di antara keduanya memudahkan Sandi untuk menjalankan misinya tersebut. Kematian Eva dan anaknya, membuat JP Coen sedih dan tertekan, kondisi ini kemudian dimanfaatkan untuk membunuh orang nomer satu VOC tersebut. Pada hari kematiannya, JP Coen dibuat mabuk oleh Utari Sandi dalam sebuah pesta minuman keras di kastilnya. Kondisi psikologis yang sedang labil akibat kematian anak dan istrinya, membuat sang jenderal lepas kendali dan gampang diperdaya. Di tengah mabuknya, Utari Sandi berhasil membuat JP Coen yang lengah, tergoda untuk memperkosanya. Saat Utari Sandi akan diperkosa di dalam kamar JP Coen itulah, Mahmudin tiba-tiba masuk, membunuh dan memenggal kepalanya. Gubernur Jenderal VOC yang tersohor sebagai pahlawan di kota kelahirannya Hoorn itupun takluk.
Setelah itu, kepala JP Coen segera dibawa keluar kastil, kepala ini kemudian dibawa ke Mataram oleh divisi Tumenggung Surotani untuk diserahkan kepada Sultan Agung. Sementara itu, kastil JP Coen telah berubah menjadi arena perang. Pasukan Mataram yang menyusup telah melakukan sabotase, sementara di luar, pasukan lainnya telah mengepung kastil. Pada saat itu, dalam penyerangan sabotasenya, pasukan Mataram yang menyusup menggunakan bahan peledak untuk menimbulkan shock dan kepanikan di dalam benteng. menurut kisah , peledak itulah yang membunuh Utari Sandi. Pasca peristiwa tersebut, sejumlah jasad perempuan yang sudah hangus bergelimpangan di sekitar kastil. Salah satunya jasad Utari Sandi, orang yang memegang posisi kunci dalam penyerangan tersebut.
Kematian Utari Sandi memang tragis, sama tragisnya dengan kisah cinta antara Rara Pembayun dengan Ki Ageng Mangir, kakek dan neneknya. Entah mengapa, kematian JP Coen versi cerita ini hampir tidak pernah terangkat ke publik. Bisa jadi VOC menutupinya dengan alasan politis dan pencitraan agar kebesaran nama JP Coen dan VOC saat itu tidak tercoreng. Sedang dari pihak Kerajaan Mataram, bisa jadi kepahlawanan Utari Sandi tidak diungkap karena ia adalah keturunan Ki Ageng Mangir.
Pada kenyataannya, Utari terbunuh oleh senjata pasukan Mataram sendiri. Ia seakan membayar takdirnya sebagai keturunan Mangir, si pembangkang, yang seharusnya sudah musnah. Bagaimanapun juga, terlepas dari benar atau tidaknya, kisah ini mengandung muatan sosio-kultural yang menarik untuk disimak, tentang perempuan, sensualitas, cinta, dan kekuasaan.