Sabtu, 16 Maret 2013

JANGAN PERCAYA MENTAH MENTAH SEJARAH VERSI VOC BELANDA : Sejarah kabur Pahlawan Nasional dari Mataram

Untung Surapati merupakan salah seorang pahlawan nasional Indonesia berdasarkan penetapan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975. Menurut sejarah (Sejarah yang  mana ?) , Untung Surapati berasal dari Bali (Sumber kekacauan sejarah VOC, ditulis susudah Untung menjadi musuh besar VOC, agar kraton Mataram mengganggap dia bukan orang Jawa) yang awalnya ditemukan oleh perwira VOC yang ditugaskan di Makasar yang bernama Kapten van Beber (tidak ada nama Beber dalam jajaran perwira VOC saat itu, kemungkinan besar berasal dari kata wayang ). Perwira VOC itu kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia bernama Moor (Tidak ada tradisi menjual budak kepada sesama perwira). Ketika usianya 20 tahun, ia dimasukkan ke penjara oleh Moor karena berani menikahi putrinya yang bernama Suzane. (Padahal Untung dipenjara karena ketahuan silsilahnya sebagai keturunan mata mata Mataram). Kemudian Untung memimpin pergerakan para tahanan hingga akhirnya berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan. Pada tahun 1683, VOC berhasil mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa, sang raja Banten. Putra sang raja yang bernama Pangeran Purbaya melakukan pelarian ke Gunung Gede. Setelah melalui proses yang panjang, pangeran Purbaya memutuskan menyerah asalkan ia dijemput oleh perwira VOC pribumi. Beruntungnya, Untung telah menerima tawaran sebagai tentara VOC (Padahal VOC tahu persis bahwa Untung pasti bisa ke martkas Banten di Depok dan mendekati garis pertahanan Banten karena kedekatan dengan para saudaranya seketurunan Mataram di Depok) dan dilatih ketentaraan. Ia diberi pangkat letnan dan saat itu ditugasi untuk menjemput Pangeran Purbaya. ( Jelas untung kenal sekali dengan Pangeran Purbaya karena istrinya Ambo Mayangsari adalah guru ngaji Untung di Batavia), Dalam tugas rahasia dengan Pangeran Purbaya mengantarkan istri P. Purbaya ke ayahnya di Kartosuro.Untung yang tiba di Kartasura kemudian mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada Patih Nerangkusuma, ayahnya, yang juga tokoh anti VOC. Ia gencar melakukan pendesakan kepada Amangkurat II untuk melanggar kesepakatan dengan Belanda. Nerangkusuma kemudian menikahkan Gusik Kusuma dengan Suropati. Pada Februari 1686, batalyon tempur Kapten François Tack yang merupakan perwira VOC senior tiba di Kartasura untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC. Pertempuran pun tidak terhindarkan. Pasukan VOC sebanyak 75 orang tewas, termasuk Kapten Tack yang tewas di tangan Untung.Amangkurat II yang takut pengkhianatannya terbongkar kemudian merestui Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Di Pasuruan, Suropati berhasil mengalahkan Anggajaya, Sang bupati. Untung Suropati pun menjabat menjadi bupati Pasuruan bergelar Tumenggung Wiranegara. Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC dibawah pimpinan Mayor Goovert Knole menyerang Pasuruan. Pertempuran tersebut menewaskan Untung Suropati pada tanggal 17 Oktober 1706. Untung Suropati tak pernah lari ke Bali karena dia memang bukan bangsawan Bali seperti sejarah yang ditulis VOC

Keturunan Ki Ageng Mangir di Jawa Barat :Syech Abdul Muhyi Pamijahan, Embah Dalem Arif Muhammad Cangkuang Leles, Syekh Mbah Eyang Haji Abdul Manaf Mahmud Cilegong Bandung

Candi disamping makam Arif Muhammad
Raden Panji Wanayasa seorang ulama seorang Canggah (cucunya Roro Pembayun ) keturunan langsung dari Panembahan Senopati Mataram yang mempunyai anak diantaranya bernama Eyang Abdul Manaf, berkelana menuntut ilmu ke Mekah di abad ke 15. Sepulangnya dari tanah suci, dia memilih untuk menetap di daerah rawa angker yang terletak di kelilingi sungai Citarum untuk melakukan syiar Islam bersama sejumlah santrinya.Dengan kesaktiannya, segenggam tanah yang dibawanya dari tanah suci ditebar ditengah rawa, bersama saudara-saudaranya : Raden Arif Maulana, Raden Untung, Raden Wasibagno Timur (Ki Ageng Gribig) menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan Sunda Kelapa milik VOC dengan menumpang kapal milik VOC, mengapa mereka bisa mendapatkan kemudahan untuk naik haji ke Mekah dengan kapal VOC, karena waktu itu jaringan prajurit sandi Mataram masih kuat diantaranya adalah keturunan Lie Suntek yang membuka jasa pelayaran bekerjasama dengan Kapiten Cina menantu Lie Suntek itu. Dan munculnya asal mula kampung Mahmud yang kita kenal seperti sekarang memang bermula dari keberadaan Raden Haji Mahmud cicit Panembahan Senopati yang berkibar pasca penyerbuan Mataram ke VOC tahun 1629 itu . Namun ada beberapa pantangannya yang harus dipatuhi oleh keturunan Sang Eyang Abdul Manaf agar kelangsungan hidup kampung Mahmud bisa tetap harmonis selaras alam dan nilai kehidupan yang diajarkannya dapat terus bergaung.

Untuk mengetahui secara langsung bagaimana keadaan kampung Mahmud itu pada saat sekarang,  Cerita mistis romantik asal mula kampung tersebut hampir sudah tidak meninggalkan bekas.Selain berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam di sekeliling kota Bandung, awalnya kampung Mahmud juga berfungsi sebagai tempat persembunyian dari ancaman penjajah. Untuk itu dibuatlah pantangan untuk tidak boleh memelihara ternak seperti kambing dan bebek serta tidak diperbolehkan membunyikan beduk dan gong di kampung tersebut.Namun ketika melewat depan gerbang Mesjid, terlihat beberapa ekor ayam berkeliaran di pekarangan rumah. Apakah hal itu juga berarti larangan berternak juga sudah tidak berlaku lagi di sini?Ada satu hal yang patut dicatat di sini, ( lihat gambar 1 di atas ) diujung kampung terdapat sebuah jalan setapak kecil yang membelah sungai Citarum dan ada kisah lain mengenai sungai tersebut yang kemudian membuat kampung Mahmud penuh mistis.

Menurut kepercayaan penduduk sana, selama ini kampung Mahmud tidak pernah mengalami banjir walau pun tepat berada di pinggiran sungai Citarum. Hal ini karena kampung Mahmud dilindungi oleh makhluk gaib berkepala manusia tapi berbadan ular bersisik emas. Mahluk ular berwajah ganteng keturunan Nyai Roro Jlegong dari Ki Ageng Mangir ini kadang-kadang menampakkan dirinya kepada orang tertentu untuk mewujudkan permintaan. Mungkinkah ular gaib dari kampung Mahmud merupakan salah satu keturunan dari Ular yang manjadi tombak Baru Klinthing dalam kisah Ki Ageng Mangir II dari tanah Jawa? wallahu alam . Yang jelas Sang Eyang Abdul Manaf oleh penduduk setempat disebut sebagai Eyang Mahmud atau Eyang Haji. Dari situlah nama kampung itu berasal. 

Sejarah kampung ini berkaitan erat dengan sejarah Raden Panji Wanayasa cucu Ratu Pembayun dan bermula dari Kampung Pulo tahun 1690 M, Ketika itu, datanglah kakak beradik Abdul Muhyi, Abdul Manaf dan Arif Muhammad cicit dari Ki Ageng Mangir dari Raden Panji Wanayasa di Tapos Depok, salah satu panglima perang kerajaan Mataram melawan VOC 1629 dan Banten 1686. Dalam pelariannya melawan Belanda VOC, Kakak beradik tersebut sedang membuka pos pos pasukan Mataram di wilayah selatan Jawa Barat, saat Abdul Muhyi diutus ke Tasikmalaya dan Abdul Manaf diutus ke Bandung oleh ayahnya, karena tidak ada perintah khusus embah Arif memutuskan menetap di desa Pulo. Sambil menyebarkan agama Islam, Konon sambil beristirahat Embah Dalem Arif Muhammad terkenang akan rumah ayahnya ditepi danau Jatijajar dimasa ia kecil dahului , tiba tiba terdengar kata kata Raden Panji Wanayasa "kalau anak-anakku  rindu pada ayahanda, buatlah danau yang mengelilingi desa", . Esoknya, secara ajaib muncullah sebuah situ, yang kini bernama situ Cangkuang. Kisah itu diceritakan turun temurun di Kampung Pulo, Kecamatan Leles, Garut. Situ Cangkuang yang kini menjadi objek wisata, menyimpan banyak kisah. Begitu juga Candi Cangkuang di seberang situ, serta makam Arif Muhammad di sebelahnya. Untuk mencapai lokasi, rakit bambu disediakan pengelola. Cukup Rp 8.000 untuk dewasa dan Rp 4.000 untuk anak-anak. Tak sampai sepuluh menit menyebrangi situ, kami sudah bisa sampai di candi setinggi delapan setengah meter itu. Perpaduan Hindu-Islam menjadi ciri istimewa. Candi dan makam Arif Muhammad terletak bersisian menandakan harmoni dua agama. Pertama kali candi ditemukan pada 1966 oleh Harsoyo dan Uka Candrasasmita. Penemuan ini berdasarkan laporan Vorderman tahun 1893. Sayangnya, candi Cangkuang ditemukan tak berbentuk. Hanya bersisa 40 persen saja puingnya yang 60 persen yang hilang lalu dibuat replika. Sehingga pada 1976, candi itu utuh kembali. Tepat di belakang komplek candi, terdapat rumah adat yang dengan bebas bisa ditelusuri. Rumah adat Kampung Pulo hanya tujuh saja jumlahnya. Tak boleh lebih, juga tak boleh kurang. Susunannya seperti huruf U, lingkungannya terawat, bersih, dan rapi. Jumlah ini simbol dari tujuh anak Arif Muhammad. Satu bangunan masjid melambangkan anak laki-laki. Enam lainnya berupa rumah tinggal, melambangkan anak perempuan.

Jumat, 15 Maret 2013

Syech Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya, Putra Bungsu Panji Wanayasa Kelahiran Tapos Depok.

Gua Safarwadi , Tempat Tafakur Raden Abdul Muhyi
Syech Abdul Muhyi adalah tokoh ulama legendaris yang lahir di Tapos Depok tahun 1650. Beliau merupakan putra Raden Panji Wanayasa di Jatijajar Tapos Depok, Darah Mataram mengalir deras karena beliau adalah canggah Panembahan Senopati Mataram, serta cicit ki Ageng Mangir Pembayun. Ia tumbuh dan menghabiskan masa mudanya di Depok, Imogiri  dan lama bermukim di Gresik dan Ampel, Jawa Timur. Ia pernah menuntut ilmu di Pesantren Kuala Aceh selama delapan tahun. Ia kemudian memperdalam Islam di Baghdad pada usia 27 tahun dan menunaikan ibadah haji.  Setelah berhaji, ia kembali ke Jawa untuk membantu misi ayahnya Panji Wanayasa menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Awalnya Abdul Muhyi menyebarkan Islam di Darma, Kuningan, dan menetap di sana selama tujuh tahun. Selanjutnya, atas perintah abangnya Arief Maulana Garut ia mengembara hingga ke Pameungpeuk, Garut Selatan, selama setahun.
Syekh Abdul Muhyi. Di dalam silsilah Mataram, adalah putra Bungsu Raden Panji Wanayasa  disebutkan sebagai anak ketiga Raden Tumenggung Bagus Wanabaya dan cucu Raden Ayu Roro Pembayun Putri dari Panembahan Senopati Mataram yang memerintah pada paruh pertama abad XVI. Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Tapos Depok Jawa Barat, 1071 H/1650 M-Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Syech Abdul Muhyi adalah guru dari Syech Yusuf Al Makassari. Ulama tarekat Syattariah ini dalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah juga disebutkan bahwa ada tiga guru tarekat yang diwarisi tasawuf Pamijahan yaitu: Abdul Qadir Jaelani, Abdul Jabbar dan Abdul Rauf Singkel. Apabila Abdul Qadir Jaelani disebut sebagai ‘wali awal’, maka Abdul Muhyi dianggap sebagai ‘wali penutup’. Kedudukan ini memang dibuktikan oleh kenyataan bahwa setelah wafatnya, keturunan Abdul Muhyi tidak lagi menggunakan gelar Syekh. Istilah ‘wali penutup’ memang menjadi pertanyaan, sebab dalam sejarah Islam wali akan tetap ada setiap zaman, tetapi hanya para ‘wali’ yang mengetahui keberadaan seorang ‘wali’.  
Sebagai keturunan raja, tidak banyak disebutkan dalam Kitab Istiqlal Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah perihal garis silsilah bapak, tetapi dijelaskan di dalam naskah lain yang disebut  dari Ratu Galuh. Ayah Syekh Abdul  Muhyi yang bernama Raden Panji Wanayasa Jatijajar yang adalah keturunan dari Ratu Galuh (neneknya, Nyi Linggar Jati istri Bagius Wanabaya di Kebayunan Tapos Depok). Perkawinan Panji Wanayasa putri Sunda melahirkan 5 orang anak: Arif Muhammad, Untung (Saat itu belum bernama Suropati), Abdul Manaf,  terakhir adalah Syekh Abdul Muhyi Syekh Abdul Muhyi mempunyai hubungan kekerabatan tidak langsung dengan Sultan Pajang, Pangeran Adiwijaya (Jaka Tingkir),
Silsilah Bupati Sukapura menurut naskah Leiden Cod. Or. 7445 secara Genealogi dimulai dari empat orang isteri Syekh Abdul Muhyi, itupun terutama dari isteri yang pertama (Sembah Ayu Bakta) sebagai leluhur para bupati Sukapura dari pihak ibu, adalah putri dari Sembah Dalem Sacaparana.
Selain itu, R. Ajeng Halimah atau disebut juga Ayu Salamah, putri ketiga dari Raden Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III, penguasa Sukapura (Tasikmalaya) waktu itu, dan juga adik bungsu dari Raden Yudanagara I, adalah juga salah seorang istri Syekh Abdul Muhyi.