Keramat Kali Sunter Cilangkap : Jejak Pahlawan Sunda,Makasar, Aceh, Mataram Banten di Depok
Gambar latar :Danau Jatijajar,Tapos Depok Jawa Barat, diambil Jumat 25 Januari 2013 jam 17.00. Setu ini adalah lokasi makam Raden Panji Wanayasa, Putra Ki Bagus Wanabaya Putra Ki Ageng Mangir - Roro Pembayun, putri kesayangan Panembahan Senopati Mataram
Selasa, 15 September 2015
Kyai Cindhe Amoh, Cendekiawan muslim di era Sultan Agung
Makam Kyai Cinde Amoh diletakkan di belakang tembok makam raja-raja Mataram di Imogiri karena ia memang bukan kerabat raja. Sekalipun demikian, ketika Kyai Cinde Amoh meninggal ia masih bisa merasa dekat dengan raja junjungannya, Sultan Agung karena makamnya diletakkan tidak jauh dari makam Sultan Agung. Tepatnya, makam Kyai Cinde Amoh berada di balik pagar tembok makam Sultan Agung. Jadi, sekalipun makamnya berada di luar kompleks makam raja-raja, namun keletakannya secara nyata memang berdekatan.Banyak orang menduga bahwa Kyai Cinde Amoh bernama demikian karena kemungkinan ia memang tidak mau menunjukkan atau menonjolkan identitas aslinya. Seperti diketahui cinde adalah jenis kain tertentu dengan motif tertentu. Sedangkan amoh sama artinya dengan sobek. Jadi secara harfiah nama itu bisa diartikan juga sebagai kain cine yang sobek. Apakah nama ini juga merupakan nama simbolik, tidak ada yang bisa menjelaskan secara lebih rinci. Makam Kyai Cinde Amoh hingga kini merupakan salah satu makam yang juga cukup banyak diziarahi orang selain makam raja-raja Mataram itu sendiri.
Sementara itu mengenai makam Kyai Supanta dan Kyai Sepanjang dapat dikemukakan sebagai berikut Supanta adalah nama jendral Mataram dalam serangan ke Batavia yaitu Tumenggung Upasonto dan Kyai Sepanjang adalah nama lain dari Wasi Pajang yang masih cucu dari Pangeran Benawa.
Sabtu, 17 Agustus 2013
Pesanggrahan Rejowinangun (Tuk Umbul Warung Boto Yogyakarta)
Pesanggrahan Rejowinangun
merupakan salah satu pesanggrahan yang dibangun atas perintah Sultan Hamengku
Buwono II. Pesanggrahan ini berada di sebelah timur Kraton Yogyakarta yaitu
berlokasi di sisi timur dan barat sungai Gajah Wong. Saat ini untuk sisa pesanggrahan
sisi timur sungai telah banyak yang hilang, sedangkan di sisa bangunan di sisi
barat sungai masih relatif menunjukkan sisa-sisa yang signifikan. Sisa bangunan
di sisi barat sungai secara administratif berada di Kalurahan Warung Boto,
sehingga peninggalan kekunoan Pesanggrahan Rejowinangun di sisi barat sungai
lebih sering disebut Umbul Warung Boto (selanjutnya disebut Situs Warung Boto).
Adapun sumber-sumber sejarah tertulis yang menyebut secara eksplisit tentang
keberadaan pesanggrahan Rejowinangun sangat jarang, nama pesanggrahan ini
setidaknya ditemukan pada dua naskah kesejarahan yakni dalam bentuk babad dan
serat Macapatan. Pada serat Sinom tersebut lebih lanjut disebutkan tentang nama
pesanggrahan- pesanggrahan yang dibedakan menjadi 2 waktu pembangunannya dengan
tanpa menyebut angka tahun, yakni sebelum Sultan Hamengku Buwono II naik tahta
dan sesudah naik tahta. Pesanggrahan Rejawinangun dan Reja Kusuma dibangun
ketika Sultan Hamengku Buwono II masih sebagai putra mahkota (Adipati Anom) sedangkan
pesanggrahan Purworejo, Cendhonosari dan Wonocatur didirikan setelah beliau
naik tahta sebagai sultan. Dari serat tersebut tidak terungkap bagaimana bentuk
bangunan serta cakupan keseluruhan pesanggrahan. Dalam serat Rerenggan tersebut
pesanggrahan Rejawinangun hanya disebut sebagai “klangenan” . Penyebutan
klangenan dalam serat tersebut sebagai sebuah (bangunan atau lingkungan binaan)
yang ditata dengan menonjolkan keindahan untuk dinikmati Sultan.
Pada waktu masih
dimanfaatkan sebagai pesanggrahan milik sultan, pesanggrahan Rejawinangun
didirikan pada sisi barat dan timur sungai Gajah Wong dengan memanfatkan
undak-undak sungainya. Antara kompleks bangunan sisi timur dan barat sungai
memiliki sumbu imajiner yang membujur timur hingga barat. Sumbu imajiner ini
memotong pula aliran sungai Gajah Wong yang mengalir ke selatan. Hingga saat
ini tidak diketahui dengan pasti mengenai pemanfataan kompleks bangunan di sisi
timur sungai, tetapi hingga tahun 1936 masih jelas terlihat jika kompleks
bangunan sisi timur sungai terbagi menjadi 3 kompleks yang membujur
utara-selatan dengan pagar keliling serta dihubungkan oleh 30 meter. Sedangkan kompleks bangunan di sisi±jalan berpagar selebar barat
sungai yang hingga kini masih meninggalkan bukti fisik yang cukup banyak.
Bangunan-bangunan di sisi barat sungai atau kini sebagai situs Warung Boto
merupakan kompleks bangunan berkamar dengan halaman berteras di sisi barat,
dengan kolam-kolam pemandian yang berasal dari sumber mata air tawar (umbul).
Keberadaan unsur bangunan yang berintegrasi dengan unsur air sering
diidentifikasikan sebagai sebuah taman, yakni merupakan area privat milik
sultan dengan ciri tembok keliling yang tinggi. Taman merupakan tempat
peristirahatan sultan dan kaum kerabatnya. Hal ini terungkap pula melalui
Tijdschriff voor Nederlandsch Indie tahun 1884 tulisan J.F Walrofen van Nes
yang mengupas tentang Sultan Hamengku Buwono II dan didalamnya sedikit
menyinggung tentang Umbul Warung Boto. Disebutkan dalam tulisannya tersebut
bawah Umbul Warung Boto adalah salah satu bangunan hasil karya Sultan Hamengku
Buwono II yang berfungsi sebagai bangunan peristirahatan bagi raja dan
keluarganya..
Naskah sejarah lain yang
menyebutkan tentang keberadaan Pesanggahan Rejawinangun adalah Babad Momana.
Dari Babad Momana tersebut dapat diketahui dengan pasti bahwa mulai pembangunan
Pesanggrahan Rejawinangun adalah di tahun 1711 tersebut cukup menarik, karena
selama ini Pesanggrahan Rejawinangun dikenal sebagai pesanggrahan yang dibangun
oleh Sultan Hamengku Buwono II. Padahal pada tahun 1711 (1785 M) Sultan
Hamengku Buwono I masih bertahta sebagai sultan Yogyakata. Jadi babad ini
secara tidak langsung mempertegas apa yang disebut dalam Serat Rerenggan, yakni
Pesanggrahan Rejawinangun dibangun ketika sultan Hamengku Buwana II masih
sebagai Adipati Anom Amangkunegara. Catatan Belanda yakni oleh Gubernur Belanda
untuk Jawa bagian timur, yakni J. Greeve yang pada kurun waktu tahun 1787
hingga 1791 pernah bekunjung ke Yogyakarta dan pada waktu itu ia bertemu dengan
putra mahkota yaitu pangeran Adipati Anom Amangkunegara di Pesanggrahan
Rejawinangun. Baru di tahun Je 1718 (1792 M) Pangeran Adipati Anom diangkat
menjadi Sultan Hamengku Buwono II menggantikan Hamengku Buwono.
Dari sumber-sumber tertulis
mengenai keberadaan Pesanggrahan Rejawinangun keseluruhannya hanya menyebut
secara eksplisit, jadi tidak bisa dijelaskan dengan pasti dan detail bagaimana
proses pembangunan pesanggrahan maupun bentuk dan luasan bangunan-bangunannya.
Padahal dari sisa-sisa bangunan di Situs Warung Boto dapat diketahui dengan
pasti jika bangunan-bangunan tersebut pernah mengalami perubahan arsitektur
sekaligus penambahan bangunan.
Bangunan Pesanggrahan
Rejawinangun terbagi atas 2 bagian. Bagian pertama terletak di sebelah barat,
yakni bangunan yang mengelilingi dua buah kolam. Kolam pertama berbentuk bulat
yang berdiameter 4,5 m dan kedalaman 0,5 m. Kolam kedua berbentuk empat persegi
panjang dengan panjang 10 m dan kedalaman 0,75 m. Bangunan ini merupakan
bangunan bertingkat yang sebagian ruangan yang berada di tingkat atas telah
runtuh. Lorong-lorong yang terdapat di bangunan yang mengelilingi kolam
memiliki langit-langit berbentuk lengkung. Seluruh bangunan di bagian ini
merupakan bangunan bata yang telah menggunakan perekat dan diplester di kedua
permukaannya. Bagian kedua terletak di sebelah timur , yakni bangunan kolam
berbentuk kolam berbentuk U yang berdinding bata dengan ukuran panjang 6 m,
tinggi 3 m dan tebal 60 cm. Di bagian utara dan selatan bagian kedua ini
masing-masing dijumpai patung manuk beri. Keberadaan pesanggrahan tersebut
mempunyai berbagai nilai penting baik sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Oleh karena itu, keberadaannya dilindungi oleh Undang-undang RI No. 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya.
Hasnan Habib Nyutran MG II/214 C/1536 RT 58/RW 18
Selasa, 25 Juni 2013
Silsilah Untung Suropati
Menurut silsilah Joko Pragola alias Untung
adalah anak dari Raden
Panji Wanayasa , seorang keluarga bangsawan Mataram di Banjaran Pucung Tapos Depok
. Kakeknya bernama Bagus Wanabaya anak dari Ki Ageng Mangir Wanabaya
II dari istrinya Raden Roro Pembayun anak dari Panembahan
Senopati Mataram. Orang Jawa menyebut Panembahan Loring Pasar.
Ketika masih muda Panembahan
Senopati (Raja
Mataram ke II ) pernah membunuh pemberontak Demak Raden Arya Penangsang.
Untung seorang
pemuda berwajah tampan dan halus tutur katanya sebagaimana kebiasaan priyayi Mataram. Keluarganya adalah spion atau prajurit Mataram
yang sudah lama bertugas digaris belakang pertahanan VOC Belanda di Batavia , sebagai
salah satu letnan VOC Untung sudah sangat mengenal titik titik kelemahan kota
Batavia. Dia sangat pemberani namun berhati mulia,
sehingga selama di dalam kalangan
Batavia sangat disegani kawan-kawannya. Pada suatu
kesempatan Untung yang ditahan
karena berpacaran dengan Suzana putri bossnya kapten Moor, memimpin para narapidana melakukan perlawanan kepada penjaga penjara.
Penjara berhasil dijebol, berbagai senjata dirampas dan dibawa kabur. Kompeni
mengirimkan serdadu untuk menangkap mereka, tetapi upaya itu tidak membuahkan
hasil. Untung dan pengikutnya justru membunuh beberapa serdadu yang
mengejarnya. Kompeni semakin marah kepada Untung dan terus-menerus melakukan
pengejaran.
Di tengah
perjalanan perang di wilayah
Cimpaeun Tapos Depok Untung berhasil menemukan persembunyian pasukan Pangeran
Purbaya dan 2 istrinya yang bernama Raden Ayu Gusik Kusumo dan Ambo Mayangsari, melihat rekannya letnan Kueffler melecehkan
Ambo Mayangsari dan Gusik Kusuma Untung marah besar dan membunuh seluruh
peleton letnan Kueffler di daerah Tapos Depok , Untungpun membelot ke pihak
Pangeran Purbaya , mereka saling memperkenalkan diri serta
menceritakan riwayat masing-masing. Gusik Kusumo terpaksa minta pulang ke Mataram dengan
izin Pangeran
Purbaya karena suaminya akan menyerahkan diri kepada Belanda, wanita tersebut
tidak menyetujui niat suaminya. Sementara Untung menceritakan kalau
dirinya pasti akan menjadi buronan serdadu kompeni karena telah membunuh Kueffler bersama teman-temannya. Setelah saling
mengetahui riwayatnya, mereka menyatakan keinginannya bersatu untuk
melawan kompeni. Gusik Kusumo didampingi Untung dan
pengikutnya mencari perlindungan ke Kasultanan Cirebon untuk selanjutnya menuju ke Mataram, tanah leluhur
Untung, karena Sultan Cirebon masih mempunyai hubungan
keluarga dengannya. Setelah dipikir dengan matang, Untung menyambut baik ajakan
tersebut, mereka segera bergerak menuju Cirebon.
Sultan Cirebon
sangat gembira menerima kedatangan Untung
, Gusik Kusumo dan seluruh teman-temannya. Wanita itu
menceritakan semua peristiwa yang dialami, mulai dari kepergiannya meninggalkan
suami sampai pertemuannya dengan Untung. Kanjeng Sultan sangat prihatin akan
nasib keponakannya, tetapi beliau juga bangga. Meskipun seorang wanita, Gusik
Kusumo tidak gentar melawan kompeni. Sebagai ungkapan terima kasih kepada
Untung yang sudah mengawal keponakannya, Untung dianugerahi nama Suropati oleh
Sultan Cirebon, sehingga namanya menjadi Untung Suropati.
Beberapa saat
lamanya Untung tinggal di Cirebon, hingga pada suatu hari Kanjeng Sultan
menyarankan agar Untung meneruskan perjalanan ke Kartasura. Sultan khawatir
kompeni akan menyerang Cirebon, sementara kondisi kesultanan tidak memungkinkan
melakukan perlawanan. Cirebon adalah kerajaan yang hanya memiliki prajurit
dalam jumlah terbatas. Di Kartasura Untung akan mendapat pengayoman karena
Kartasura memiliki prajurit yang sangat besar. Ayah angkat Gusik Kusumo adalah
Patih Mangkubumi. Untung Suropati memahami hal itu, sebenarnya dia bersama
kawan-kawannya juga sudah berencana meninggalkan Kesultanan Cirebon. Mereka
terpaksa bertahan di Cirebon karena menunggu keputusan Gusik Kusumo.
Pada waktu yang
hampir bersamaan Gusik Kusumo mengutarakan niatnya untuk pulang ke Kartasura.
Sang Putri sudah sangat rindu kepada keluarganya di Mataram dan harus
secepatnya diberitahu kalau dirinya sudah meminta izin suaminya Pangeran Purbaya.
Pernikahannya dengan Purbaya dulu adalah atas kehendak Sunan Amangkurat, jadi
apapun yang terjadi harus dilaporkan ke Mataram. Kanjeng Sultan memberikan
perbekalan yang cukup untuk keberangkatan mereka. Beliau juga mengijinkan
orang-orang Bali, Madura dan Makassar yang hidup bergelandangan di Cirebon
bergabung dengan Untung Suropati. Setelah berpamitan kepada Kanjeng Sultan,
rombongan Untung dan Gusik Kusumo meninggalkan Cirebon dengan.
Kamis, 06 Juni 2013
VOC bangkrut timbullah "Cultuurstelsel" Sebuah Sistem Tanam Paksa Jaman Penjajahan Belanda
''Cultuurstelsel'' (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan
tarum
(nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial
dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada
pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus
bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak.Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena
seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Sejarah
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830),
Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan
sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas
pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran
pemerintah penjajahan.
|
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan
senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch
ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi
ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila).
Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal
seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja
bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Kritik
Kritik kaum liberal
Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet.
Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya
terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih
lanjut.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Kritik kaum humanis
Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
Dampak di bidang pertanian
Cultuurstelsel
menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia
secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan
keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan
tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC,
perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh.
Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat
merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan
perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian,
dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870
kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
VOC: Pedagang sekaligus Pendakwah Kristen
Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC) didirikan
tanggal 20 Maret 1602 dan merupakan perusahaan dagang yang semula hanya
memfokuskan pada perdagangan semata dan
bukan penaklukan wilayah. Beberapa ahli sejarah kurang sepakat apakah VOC
pada mulanya tidak memiliki motif-motif lain selain perdagangan.Beberapa
ahli sejarah menghubungkan dengan tiga istilah 3-G (Gold, Glory, Gospel).DR. Verkyul pun memberikan konfirmasi dengan
menggunakan istilah sbb: motif merkantil-ekonomis, motif
teokratis,motif kultural, motif imperial.
Sekalipun perusahaan dagang, tidak dapat disangkal bahwa
VOC mirip sebuah pemerintahan Kristen yang mempunyai kekuasaan politis untuk
mengadakan perjanjian dengan pemerintahan lain, mengambil keputusan
perang, mengadakan dan memelihara tentara, membuat dan
mengedarkan uang. Pada 1669, VOC merupakan perusahaan pribadi terkaya dalam
sepanjang sejarah, dengan lebih dari 150
perahu dagang, 40 kapal perang, 50.000 pekerja, angkatan bersenjata pribadi dengan
10.000 tentara, dan pembayaran dividen 40%]. VOC
mempunyai kewajiban agamawi karena diwajibkan oleh pemerintah Belanda melakukan
pengawetan atau pemeliharaan kepercayaan umum dalam hal ini agama Kristen sebagai agama yang diakui sah oleh
pemerintah kerajaan Belanda yang beraliran Calvinis. Pemeliharaan
kepercayaan umum tersebut selaras dengan bunyi pengakuan
iman Belanda pasal 36 ( Nederlandsche Geloofsbelijdenis).
Berdasarkan perintah tersebut maka VOC
mengeluarkan berbagai peraturan al., memelihara gereja yang kudus,
menolak dan membasmi segala rupa penyembahan berhala dan agama palsu – bukan
saja Islam dan agama kafir namun Katolik dan aliran Lutherandan diluar Calvinis – serta membiayai berbagai kegiatan
agamawi seperti ibadah,pengajaran agama, pemeliharaan rohani serta penyebaran
agama. Hanya terkait tugas penyebaran agama, VOC kerap melalaikan tugas ini
jika sudah berbenturan dengan kepentingan perdagangannya. Bahkan
orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC mengabaikan nurani kristennya. Tugas,penyebaran Injil tidak hanya dilaksanakan
oleh VOC. Dalamperkembangannya khususnya setelah VOC bangkrut dan
diambil alih pemerintahan Belanda, tugas penyebaran Injil dilakukan baik oleh
badan gereja resmi dalam hal ini oleh Netherlandsche
Hervormde Kerk (NHK) maupun
kelompok-kelompok di luar gerejaesmiseperti Het Nederlandsch
ZendelingGenootschap (NZG),
Nederlandsch Gereformeerde zendingsVereeniging (NGZV), Doopsgezinde Zendings Vereeniging (DZV) serta kelompok awam yang tidak terikat
dalam organisasi tertentu seperi F.L. Anthing (1820-1883),C.P. Stevens-Philips (1824-1876), J.C.
Philips-van oostrom (1815-1877), E.J.De Wildt-Le Jolle (1824-1906),
Tunggul Wulung (1800-1885) seorang pribumi jawa yang menjadi pertapa dan
guru ngelmu sebelum masuk Kristen[9].
Di zaman VOC berkuasa, gereja yang terikat dengan VOC
kerap mendapatkan benturan. Keterikatan dan kebergantungan gereja yang
dikuasai VOC terutama dalam hal keuangan seperti memberi gaji
pendeta. Kerap terjadi bahwa pendeta tidak berkutik menghadapi kebobrokan moral
pejabat VOC yang secara kepangkatan berada
di atasnya. Namun tidak semua pendeta bersikap tutup mulut dan berdiam diri. Seorang pendeta VOC bernama
Justus Heurnius kerap memberikan kritik atas ketimpangan sosial dan
ketidakadilan sosial. Heurnius kerap membela rakyat Nusantara yang
tertindas oleh VOC. Ketika Batavia diserbu Sultan Agung dari Mataram tahun 1628, beliau memberikan komentar: “ Kenyataan
ini merupakan hukuman yang adil bagi umat Kristen Belanda yang celaka, yaitu umat yang
hidupnya sehari-hari, tidak mau mengamalkan
perintah Tuhan ...”. Akibat pernyataannya beliau diasingkan ke Indonesia Timur (1632-1638) dengan harapan tidak lagi
kembali kenegeri Belanda.
Rabu, 29 Mei 2013
Kota Depok, Sejarah Pra Cornelis Chastelein
Nama Depok terkenal sebagai salah
satu kota satelit ibukota Jakarta, tetapi entah sengaja atau tidak, di
beberapa daerah ada juga nama Depok, seperti di Kabupaten Sleman
Yogyakarta yang mempunyai salah satu kecamatan bernama Depok juga salah
satu pantai yang terkenal di Yogyakarta yaitu Parangtritis juga sering
disebut juga dengan pantai Depok, bahkan di Daerah Bantul Yogyakarta
adan juga nama Bah Depok ddisebelah pabrik Gula Madukismo Yogyakarta.
Nama Depok juga erat berkaitan dengan kisah sejarah Majapahit yaitu
putra Kertabumi atau Brawijaya ke V, yang bernama Bondan Kejawan yang
menurunkan Ki Ageng Abdullah atau Ki Ageng Getas Pendawa atau Raden
Depok, seorang kyai atau guru spiritual , dari nama inilah kemungkinan
istilah padepokan lahir, yaitu belajar mengaji di tempat Raden Depok,
kisah ini terjadi di tahun 1500 atau semasa walisongo di pulau Jawa,
karena Jawa Barat diislamkan oleh Sunan Gunungjati yang memang mengaji
dan bersosialisasi di Jawatengah maka istilah "Padepokan atau mengaji di
tempat Raden Depok" masih terbawa bawa hingga terjadi pengislaman tanah
Sunda yang dipelopori oleh kerajaan Banten dibawah Maulana Hasanudin
putra Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Jadi kalau istilah Depok ini berasal dari kata kata Padepokan maka jelas nama Depok telah ada sebelum Cornelis Chastelein datang ke Depok, namun sebetulnya kata kata De-Folk yang artinya "rakyat" juga bisa dikaitkan sebab nama awal dari Kali Sunter (yang muaranya berada di kelurahan Cilangkap Tapos Depok) sudah disebut oleh pimpinan telik sandi tentara Mataram yang tinggal di Batavia sejak tahun 1620 - 1629 yang bernama Ki Bagus Wanabaya, (putra Ki Ageng Mangir dan Roro Pembayun dari Mataram) sebagai Kaal - Stinker atau "daerah orang miskin yang berbau kentut" rupanya naluri insting intel Mataram yang cakap berbahasa Belanda ini memahami bahwa dengan sebutan yang rendah itu tidak akan menuntun intel VOC Belanda untuk mencari lokasi khusus yang menjadi markas tentara Sandi Mataram di Depok itu.
Namun keberadaan Kaal - Stinker atau Kali Sunter itu akhirnya terendus juga oleh intelejen VOC Belanda sesudah perang Banten tahun 1682 yang menemukan ternyata penduduk Tapos ini ternyata telah mempunyai komunitas dan kemampuan tempur yang sangat baik, maka pimpinan intelejen VOC menugaskan seorang tentara muda dan cerdas bernama Cornelis Chastelein yang pada tahun itu pada usia 25 tahun dengan jabatan sebagai Grootwin kelier der OostIndische Compagnie untuk menyelidiki dan memantau dan menggarap daerah selatan Batavia ini sebagai daerah penyangga kekuatan militer Batavia melawan tentara pemberontak lokal Sunda yang saat itu terganggu produksi kebunnya . Ia bersama kesatuan tempurnya bekerja keras dan menanamkan jiwa persaudaraan dalam korsa kesatuan tempurnya. Dan pada tahun 1691 ia dinaikkan jabatannya menjadi Tweede Opperkoopman des Casteels Batavia dengan gaji 65 gulden,namun ia malah diperintahkan untuk pensiun dari VOC karena diserahi tugas khusus untuk memimpin Garnizun Depok, sebuah kesatuan tentara yang mandiri dengan para prajurit lokal Nusantara . Jabatan itu didapat karena ide cerdasnya untuk membentuk kesatuan tentara khusus Kristen beranggota suku suku di Nusantara yang mandiri, keluarga pejuang yang harus bisa berbaur di masyarakat sebagai petani atau pekebun yang agamis , mereka dididik menjadi fanatik, ulet dan pemberani , saking fanatiknya mereka memanggil sang kumendan Cornelis dengan sebutan presiden,
Cornelis Chastelein menjadi komandan dan memerintah garnizunnya lengkap dengan sistem pemerintahannya dan melatih para prajurit lokal VOC ini dengan sangat baik sehingga sebagian besar anggotanya (walaupun berlainan suku dan daerah) sangat piawai berbahasa Belanda. Model dan ketaktisan kesatuan tempur Garnizun Depok ini sangat dikagumi dan mengilhami Herman Willem Deandels yang pernah bertugas menjadi Gubernur Jendral ke 36 di Batavia mencetuskan Ide Legiun Asing ( legion Estranger) dalam ketentaraan Napoleon Bonaparte pada tahun 1812, yaitu adanya prajurit dari bermacam suku dan bangsa dalam sistem keprajuritan Perancis, ide ini ditiru dan dilaksanakan oleh pemerintah Perancis hingga perang dunia ke II.
Ada 12 marga yang diberikan oleh Cornelis Chastelein sebagai simbul garnizun ini. Ke-12 marga tersebut adalah Bacas, Jonathans, Isakh, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh. Pada awalnya, warga yang mendapat 12 marga ini berasal dari berbagai suku di Indonesia, seperti Jawa, Makassar, Manado, Bali dan Timor., jelas ide garnizun Depok ini berasal dari ketekunannya mempelajari budaya pertanian / perkebunan masyarakat Tapos yang keturunan tentara Mataram dan Banten. Tentara lokal garnizun Depok ini dididik Cornelis Chastelein secara keras, disiplin dan spartan, (pendidikan ketentaraan inilah yang disamarkan oleh VOC sebagai perbudakan), sehingga tentara yang dihasilkan dari garnizun Depok ini menjadi andalan VOC dimasa itu dalam menumpas pemberontakan pemberontakan yang seringkali terjadi di Nusantara. Garnizun Depok ini mempunyai simbul 12 marga atau kompi (atau disebut kumpi), Dengan adanya Kristen sebagai agama wajib anggotanya di Garnizun Depok ini, maka tentu vaktor pembelotan tentara lokal VOC saat melawan kerajaan kerajaan (yang kebanyakan Islam) Nusantara dapat diminimalisir sekecil mungkin. Oleh karena ia bertindak sebagai direktur dan komandan Garnizun, demi kecintaannya pada para prajurit setianya maka saat ia meninggal, ia meletakkan harapana dan cita-citanya pada 12 kumandan kompinya dengan mewariskan semua harta bendanya kepada mereka.
Jadi kalau istilah Depok ini berasal dari kata kata Padepokan maka jelas nama Depok telah ada sebelum Cornelis Chastelein datang ke Depok, namun sebetulnya kata kata De-Folk yang artinya "rakyat" juga bisa dikaitkan sebab nama awal dari Kali Sunter (yang muaranya berada di kelurahan Cilangkap Tapos Depok) sudah disebut oleh pimpinan telik sandi tentara Mataram yang tinggal di Batavia sejak tahun 1620 - 1629 yang bernama Ki Bagus Wanabaya, (putra Ki Ageng Mangir dan Roro Pembayun dari Mataram) sebagai Kaal - Stinker atau "daerah orang miskin yang berbau kentut" rupanya naluri insting intel Mataram yang cakap berbahasa Belanda ini memahami bahwa dengan sebutan yang rendah itu tidak akan menuntun intel VOC Belanda untuk mencari lokasi khusus yang menjadi markas tentara Sandi Mataram di Depok itu.
Namun keberadaan Kaal - Stinker atau Kali Sunter itu akhirnya terendus juga oleh intelejen VOC Belanda sesudah perang Banten tahun 1682 yang menemukan ternyata penduduk Tapos ini ternyata telah mempunyai komunitas dan kemampuan tempur yang sangat baik, maka pimpinan intelejen VOC menugaskan seorang tentara muda dan cerdas bernama Cornelis Chastelein yang pada tahun itu pada usia 25 tahun dengan jabatan sebagai Grootwin kelier der OostIndische Compagnie untuk menyelidiki dan memantau dan menggarap daerah selatan Batavia ini sebagai daerah penyangga kekuatan militer Batavia melawan tentara pemberontak lokal Sunda yang saat itu terganggu produksi kebunnya . Ia bersama kesatuan tempurnya bekerja keras dan menanamkan jiwa persaudaraan dalam korsa kesatuan tempurnya. Dan pada tahun 1691 ia dinaikkan jabatannya menjadi Tweede Opperkoopman des Casteels Batavia dengan gaji 65 gulden,namun ia malah diperintahkan untuk pensiun dari VOC karena diserahi tugas khusus untuk memimpin Garnizun Depok, sebuah kesatuan tentara yang mandiri dengan para prajurit lokal Nusantara . Jabatan itu didapat karena ide cerdasnya untuk membentuk kesatuan tentara khusus Kristen beranggota suku suku di Nusantara yang mandiri, keluarga pejuang yang harus bisa berbaur di masyarakat sebagai petani atau pekebun yang agamis , mereka dididik menjadi fanatik, ulet dan pemberani , saking fanatiknya mereka memanggil sang kumendan Cornelis dengan sebutan presiden,
Cornelis Chastelein menjadi komandan dan memerintah garnizunnya lengkap dengan sistem pemerintahannya dan melatih para prajurit lokal VOC ini dengan sangat baik sehingga sebagian besar anggotanya (walaupun berlainan suku dan daerah) sangat piawai berbahasa Belanda. Model dan ketaktisan kesatuan tempur Garnizun Depok ini sangat dikagumi dan mengilhami Herman Willem Deandels yang pernah bertugas menjadi Gubernur Jendral ke 36 di Batavia mencetuskan Ide Legiun Asing ( legion Estranger) dalam ketentaraan Napoleon Bonaparte pada tahun 1812, yaitu adanya prajurit dari bermacam suku dan bangsa dalam sistem keprajuritan Perancis, ide ini ditiru dan dilaksanakan oleh pemerintah Perancis hingga perang dunia ke II.
Ada 12 marga yang diberikan oleh Cornelis Chastelein sebagai simbul garnizun ini. Ke-12 marga tersebut adalah Bacas, Jonathans, Isakh, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh. Pada awalnya, warga yang mendapat 12 marga ini berasal dari berbagai suku di Indonesia, seperti Jawa, Makassar, Manado, Bali dan Timor., jelas ide garnizun Depok ini berasal dari ketekunannya mempelajari budaya pertanian / perkebunan masyarakat Tapos yang keturunan tentara Mataram dan Banten. Tentara lokal garnizun Depok ini dididik Cornelis Chastelein secara keras, disiplin dan spartan, (pendidikan ketentaraan inilah yang disamarkan oleh VOC sebagai perbudakan), sehingga tentara yang dihasilkan dari garnizun Depok ini menjadi andalan VOC dimasa itu dalam menumpas pemberontakan pemberontakan yang seringkali terjadi di Nusantara. Garnizun Depok ini mempunyai simbul 12 marga atau kompi (atau disebut kumpi), Dengan adanya Kristen sebagai agama wajib anggotanya di Garnizun Depok ini, maka tentu vaktor pembelotan tentara lokal VOC saat melawan kerajaan kerajaan (yang kebanyakan Islam) Nusantara dapat diminimalisir sekecil mungkin. Oleh karena ia bertindak sebagai direktur dan komandan Garnizun, demi kecintaannya pada para prajurit setianya maka saat ia meninggal, ia meletakkan harapana dan cita-citanya pada 12 kumandan kompinya dengan mewariskan semua harta bendanya kepada mereka.
Jumat, 24 Mei 2013
Asal muasal nama Kali Sunter, kisah perjuangan Ki Bagus Wanabaya dari kerajaan Mataram Sultan Agung. Oleh : Hasnan Habib
Penulis di sumber mata air, Banjaran Pucung Cilangkap Tapos Depok |
Mata air kali Sunter terletak di kp Banjaran Pucung Cilangkap Tapos Depok berbatasan dengan kampung Cimpaeun Tapos Depok dan bermuara di teluk Jakarta tepatnya didaerah Ancol Jakarta utara, Kali Sunter mempunyai jejak sejarah yang sangat panjang, sejak tahun 1450 saat Sunan Kalijaga diperintahkan untuk berdakwah di Jawa Barat oleh Sunan Gunung Jati dan pertemuanya deng Ki Langkap Kahfidaztu atau Ki Aling diwilayah mata air Kali Sunter Banjaran Pucung Cilangkap Tapos kota Depok, yang terdekat dengan kisah kali Sunter adalah saat Ki Bagus Wanabaya , mata mata dari Mataram dibawah Sultan Agung yang bertugas di wilayah dalam benteng VOC di Batavia, dia selalu menyebut daerah asalnya dari daerah Kaal - Stinker yang dalam bahasa Belanda berarti " Orang miskin yang berbau kentut" nama ini mungkin sangat aneh bagi para penduduk Batavia, tetapi untuk kepentingan intelejen Mataram nama ini menjadi penting karena dengan nama ini intelejen VOC Batavia menjadi tidak peduli dengan daerah Kaal - Stinker, padahal bila mereka tahu pastilah mereka akan menyelidiki daerah yang dijadikan markas mata mata perang Mataram sejak 1620 hingga 1629, bahkan saat perang Mataram - Batavia berakhir dengan tewasnya JP Coen sang gubernur jendral keduanya, kali Sunter masih dijadikan markas besar oleh keturunan keturunan mata mata Mataram diantaranya Raden Panji Wanayasa dan Dewi Sekar Rinonce. Jejak sejarah lainnya adalah kehadiran putra raden Panji Wanayasa yaitu Lie Sun Tek dari istrinya yang keturunan chinese, Lie Suntek yang menjadi salah satu panglima Sultan Ageng Tirtayasa ini membawa harta kerajaan Banten ke wilayah kali Sunter dalam perang VOC - Banten tahun 1682, sebuah perang saudara yang dipicu politik adu domba VOC Belanda. Kini daerah subur ini telah menjadi lapangan golf dan pemukiman masyarakat
Langganan:
Postingan (Atom)