Legiun Mangkunegaran sebuah korps militer yang dibentuk pada tahun 1808 memiliki sejarah panjang sejak tahun 1740 sejak cikal bakal "Geger Pecinan" atau pemberontakan Mas Garendi, dan menjadi kebanggaan praja Mangkunegaran. Reruntuhan bangunan kavaleri-artileri markas Legiun Mangkunegaran yang berada di sebelah timur pura Mangkunegaran menjadi saksi bahwa korps militer ini sangat disegani pada masanya. Legiun Mangkunegaran merupakan korps militer modern yang dibangun dengan konsep militer barat dipadukan dengan nilai-nilai kepemimpinan Jawa, menjadikan Legiun Mangkunegaran dapat dianggap sebagai kekuatan militer yang elit pada jamannya. Dibangun ditengah konflik politik lokal kerajaan Jawa dan semakin kuatnya kekuatan politik pemerintah kolonial Belanda membawa Legiun Mangkunegaran sebagai kekuatan militer yang selalu dimanfaatkan untuk menghadapi konflik-konflik secara militer.
Sejak didirikan tahun 1808, Legiun Mangkunegara mencatat sejarah panjang sebagai unit militer Nusantara paling modern di zamannya. Legiun Mangkunegara ikut dalam pelbagai kancah pertempuran, seperti Perang Napoleon di Asia sebagai bagian dari pasukan Perancis-Belanda melawan pasukan Inggris-Sepoy (India) tahun 1811, Perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830), Perang Aceh (1873-1904), sejumlah operasi militer di Nusantara, hingga menghadapi Jepang dalam perang Pasifik (1942) di seantero Nusantara. Raden Mas Sarwanta Wiryasuputra dalam buku Legiun Mangkunegara yang diterbitkan Reksopustoko, Perpustakaan Istana Mangkunegaran, 1978, menjelaskan, operasi tempur pertama terjadi pada masa kepemimpinan Herman Willem Daendels, sang perwira kepercayaan Napoleon Bonaparte, pada tahun 1808. Ketika itu, kekuatan Legiun Mangkunegara di bawah Pangeran Ario Praboe Prang Wedana sebagai kolonel dalam dinas Sri Baginda Lodewijk Napoleon- kerabat Napoleon Bonaparte- memiliki total 1.150 prajurit yang dibagi dalam 800 prajurit infanteri (Fusilier), 100 prajurit penyerbu (Jagers), 200 prajurit kavaleri (berkuda), dan 50 prajurit rijdende artileri (meriam). Struktur awal staf dan anggota Legiun Mangkunegara memiliki 2 orang perwira senior berpangkat mayor, 4 letnan ajudan, 9 kapitein, 8 letnan tua, 8 letnan muda, bintara sebanyak 32 sersan, tamtama sebanyak 62 kopral, flankier 900 orang, dragonder (dragoon) 200 orang, dan steffel 50 orang. Mereka menggunakan seragam topi syako dan jas hitam pendek bagi bintara dan prajurit. Perwira memakai topi syako, jas hitam, dan celana putih.
Saat Inggris mengalahkan Perancis, Legiun Mangkunegara dibubarkan oleh pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Namun, karena desakan kebutuhan, Legiun Mangkunegara segera dimobilisasi kembali. Sewaktu perdamaian tercapai di Eropa, Hindia Belanda pun dikembalikan Inggris kepada Belanda pada tahun 1816. Ketika itu, kekuatan Legiun Mangkunegara sebanyak 739 serdadu. Kemudian, susunan organik ditetapkan sebanyak 800 orang. Pada Perang Jawa (1825-1830), kekuatan Legiun Mangkunegara ditingkatkan menjadi 1.500 orang. Seusai perang, kekuatan Legiun Mangkunegara dikurangi menjadi 1.000 personel.
Ada yang menarik dari Legiun Mangkunegaran ini selain struktur militernya yang teratur mengikuti gaya militer Barat, sepak terjangnya dalam berbagai peperangan di tanah Jawa hingga Sumatra dalam perang Aceh. Legiun Mangkunegaran meninggalkan cerita yang hampir mirip dalam mobilitas sosial masyarakat modern saat ini. Menurut Heri Priyatmoko menjadi tentara legiun merupakan dambaan rakyat karena dianggap sebagai profesi yang sangat mulia dan terhormat karena mendekatkan diri kepada junjungan Gusti Mangkunegaran juga pada masa bertugas tentara legiun mangkunegaran mendapatkan gaji dan sejumlah ransum pangan setiap bulannya berupa beras dan garam. Selain itu kesejahteraan ank dan istri dari anggota legiun juga mendapatkan perhatian dengan adanya perawatan kesehatan bagi keluarga mereka.
Tetapi konsep struktur masyarakat Jawa yang membagi masyarakatnya menjadi kelas-kelas berdasarkan garis keturunan tidak semua masyarakat di praja Mangkunegaran dapat menjadi prajurit Legiun. Peraturan pendaftaran diperketat untuk mendapatkan prajurit yang handal dan merupakan masyarakat lokal yang tinggal di wilayah praja mangkunegaran. Prioritas diutamakan bagi orang yang masih memiliki trah abdi dalem mangkunegaran sehingga membuat perekrutan prajurit memunculkan istilah geretan atau nepotisme berdasarkan keturunan. Selain itu tahapan untuk menjadi prajurit legiun harus melalui proses magang (nyuwita) sebuah konsep dalam dunia kepriyayian untuk menunjukkan rasa bakti dan kesetiaan sebelum diangkat menjadi abdi dalem. Magang ini juga berlaku bagi abdi dalem lainnya untuk memperoleh dasar-dasar kedisiplinan dan kesetiaan dengan mengikuti wajib militer di kesatuan legiun selama enam hingga sembilan bulan.
Hal lain yang menyebabkan mengapa menjadi prajurit Legiun Mangkunegaran dapat meningkatkan status sosial seseorang adalah jenis pakaian yang digunakan. Tidak seperti prajurit di wilayah kerajaan lainnya di Jawa yang menggunakan pakaian tradisional, prajurit Legiun Mangkunegaran memakai pakaian bergaya Eropa yang dipadukan dengan aksesoris lokal. Pemakaian busana Eropa ini secara psikologis menempatkan mereka pada kedudukan struktur masyarakat kolonial yang dapat dianggap sejajar dengan golongan penguasa. Pakaian menjadi identitas seseorang melalui kulit luar yang diakui oleh masyarakat sebagai penanda dalam masyarakat yang berkelas. Proses menyerupai golongan penguasa dan mensejajarkan diri memang merupakan sesuatu yang sedang dicari oleh masyarakat praja Mangkunegaran pada saat itu karena secara sosial politik masih ada kekuasaan lokal yang lebih superior dari Praja Mangkunegaran yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Maka tidak lah mengherankan bila Praja Mangkunegaran lebih mendekatkan diri kepada pemerintah kolonial untuk menyokong kekuasaan politiknya. Imbal balik dari konsesi politik tersebut adalah pemanfaatan prajurit Legiun Mangkunegaran sebagai bagian dari operasi-operasi militer pemerintah kolonial dalam meredam berbagai perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Uniknya beberapa komandan terbaik dari Legiun ini selalu ditugaskan sementara waktu dikota Depok dengan kata lain mereka di"kristenkan" diberbagai seminari di Depok, buah dari kristenisasi ini adalah banyak dari bangsawan keraton Mangkunegaran menjadi orang Kristen/Katolik, fakta sejarah ini tidak terbantahkan mengingat saat itu di Batavia tidak menyelenggarakan sekolah sekolah Kristen, yang ada hanyalah garnisun yang dibarengi dengan kegiatan seminari di Depok yang telah menjadi negara mandiri.
Keberadaan Legiun Mangkunegaran memang menjadi menarik ditinjau dari berbagai aspek dan tentunya masih ada pertanyaan yang menggelitik yaitu mengapa Mangkunegaran dengan Legiunnya membantu pemerintah kolonial Belanda dalam berbagai perang perlawanan terhadap hegemoni kolonial Belanda yang terjadi baik di tanah Jawa dan Aceh dan dengan bangga menyatakan kemenangan mereka??
—————————————
Diolah dari:
Iwan Susanto, Legiun Mangkunegaran (1808-1942): Tentara Jawa-Perancis Warisan Napoleon Bonaparte, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011.
Heri Priyatmoko, Seragam Eropa Tampang Pribumi: Sejarah Sosial Legiun Mangkunegara, Makalah, 3 Maret 2012.
Susanto, Legiun Mangkunegaran: Tentara Jawa Modern, Catatan Kritis Untuk Buku Iwan Susanto, Legiun Mangkunegaran (1808-1942): Tentara Jawa-Perancis Warisan Napoleon . by hasnan habib kota Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar