Candi disamping makam Arif Muhammad |
Raden Panji Wanayasa seorang ulama seorang Canggah (cucunya Roro Pembayun ) keturunan langsung dari Panembahan Senopati Mataram yang mempunyai anak diantaranya bernama Eyang Abdul
Manaf, berkelana menuntut ilmu ke Mekah di abad ke 15. Sepulangnya dari
tanah suci, dia memilih untuk menetap di daerah rawa angker
yang terletak di kelilingi sungai Citarum untuk melakukan syiar Islam
bersama sejumlah santrinya.Dengan
kesaktiannya, segenggam tanah yang dibawanya dari tanah suci ditebar
ditengah rawa, bersama saudara-saudaranya : Raden Arif Maulana, Raden Untung, Raden Wasibagno Timur (Ki Ageng Gribig) menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan Sunda Kelapa milik VOC dengan menumpang kapal milik VOC, mengapa mereka bisa mendapatkan kemudahan untuk naik haji ke Mekah dengan kapal VOC, karena waktu itu jaringan prajurit sandi Mataram masih kuat diantaranya adalah keturunan Lie Suntek yang membuka jasa pelayaran bekerjasama dengan Kapiten Cina menantu Lie Suntek itu. Dan munculnya asal mula kampung Mahmud yang kita kenal
seperti sekarang memang bermula dari keberadaan Raden Haji Mahmud cicit Panembahan Senopati yang berkibar pasca penyerbuan Mataram ke VOC tahun 1629 itu . Namun ada beberapa pantangannya yang harus dipatuhi
oleh keturunan Sang Eyang Abdul Manaf agar kelangsungan hidup kampung
Mahmud bisa tetap harmonis selaras alam dan nilai kehidupan yang
diajarkannya dapat terus bergaung.
Untuk
mengetahui secara langsung bagaimana keadaan kampung Mahmud itu pada
saat sekarang,
Cerita mistis romantik asal mula kampung tersebut hampir sudah tidak
meninggalkan bekas.Selain
berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam di sekeliling kota
Bandung, awalnya kampung Mahmud juga berfungsi sebagai tempat
persembunyian dari ancaman penjajah. Untuk itu dibuatlah pantangan untuk
tidak boleh memelihara ternak seperti kambing dan bebek serta tidak
diperbolehkan membunyikan beduk dan gong di kampung tersebut.Namun
ketika melewat depan gerbang Mesjid, terlihat
beberapa ekor ayam berkeliaran di pekarangan rumah. Apakah hal itu juga
berarti larangan berternak juga sudah tidak berlaku lagi di sini?Ada
satu hal yang patut dicatat di sini, ( lihat gambar 1 di atas ) diujung
kampung terdapat sebuah jalan setapak kecil yang membelah sungai
Citarum dan ada kisah lain mengenai sungai
tersebut yang kemudian membuat kampung Mahmud penuh mistis.
Menurut
kepercayaan penduduk sana, selama ini kampung Mahmud tidak pernah
mengalami banjir walau pun tepat berada di pinggiran sungai Citarum. Hal
ini karena kampung Mahmud dilindungi oleh makhluk gaib berkepala
manusia tapi berbadan ular bersisik emas. Mahluk ular berwajah ganteng keturunan Nyai Roro Jlegong dari Ki Ageng Mangir ini
kadang-kadang menampakkan dirinya kepada orang tertentu untuk
mewujudkan permintaan. Mungkinkah ular gaib dari kampung Mahmud
merupakan salah satu keturunan dari Ular yang manjadi tombak Baru Klinthing dalam kisah Ki Ageng Mangir II dari tanah Jawa? wallahu alam . Yang jelas Sang Eyang Abdul Manaf oleh penduduk setempat disebut sebagai
Eyang Mahmud atau Eyang Haji. Dari situlah nama kampung itu berasal.
Sejarah kampung ini berkaitan erat dengan sejarah Raden Panji Wanayasa cucu Ratu Pembayun dan bermula dari Kampung Pulo tahun 1690 M, Ketika itu, datanglah kakak beradik Abdul Muhyi, Abdul Manaf dan Arif Muhammad cicit dari Ki Ageng Mangir dari Raden Panji Wanayasa di Tapos Depok, salah satu panglima perang kerajaan Mataram melawan VOC 1629 dan Banten 1686. Dalam pelariannya melawan Belanda VOC, Kakak beradik tersebut sedang membuka pos pos pasukan Mataram di wilayah selatan Jawa Barat, saat Abdul Muhyi diutus ke Tasikmalaya dan Abdul Manaf diutus ke Bandung oleh ayahnya, karena tidak ada perintah khusus embah Arif memutuskan menetap di desa Pulo. Sambil menyebarkan agama Islam, Konon sambil beristirahat Embah Dalem Arif Muhammad terkenang akan rumah ayahnya ditepi danau Jatijajar dimasa ia kecil dahului , tiba tiba terdengar kata kata Raden Panji Wanayasa "kalau anak-anakku rindu pada ayahanda, buatlah danau yang mengelilingi desa", . Esoknya, secara ajaib muncullah sebuah situ, yang kini bernama situ Cangkuang.
Kisah itu diceritakan turun temurun di Kampung Pulo, Kecamatan Leles, Garut. Situ Cangkuang yang kini menjadi objek wisata, menyimpan banyak kisah. Begitu juga Candi Cangkuang di seberang situ, serta makam Arif Muhammad di sebelahnya.
Untuk mencapai lokasi, rakit bambu disediakan pengelola. Cukup Rp 8.000 untuk dewasa dan Rp 4.000 untuk anak-anak. Tak sampai sepuluh menit menyebrangi situ, kami sudah bisa sampai di candi setinggi delapan setengah meter itu.
Perpaduan Hindu-Islam menjadi ciri istimewa. Candi dan makam Arif Muhammad terletak bersisian menandakan harmoni dua agama. Pertama kali candi ditemukan pada 1966 oleh Harsoyo dan Uka Candrasasmita. Penemuan ini berdasarkan laporan Vorderman tahun 1893.
Sayangnya, candi Cangkuang ditemukan tak berbentuk. Hanya bersisa 40 persen saja puingnya yang 60 persen yang hilang lalu dibuat replika. Sehingga pada 1976, candi itu utuh kembali. Tepat di belakang komplek candi, terdapat rumah adat yang dengan bebas bisa ditelusuri.
Rumah adat Kampung Pulo hanya tujuh saja jumlahnya. Tak boleh lebih, juga tak boleh kurang. Susunannya seperti huruf U, lingkungannya terawat, bersih, dan rapi. Jumlah ini simbol dari tujuh anak Arif Muhammad. Satu bangunan masjid melambangkan anak laki-laki. Enam lainnya berupa rumah tinggal, melambangkan anak perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar