Hamengkubuwono I |
Terjemahannya: Tersebutlah Barisan pasukan SDIS Kanjeng Susuhunan berhadapan langsung dengan komandan pasukan Belanda bernama Mayor Clereq. Terjadi pertempuran jarak dekat yang sengit, lama kelamaan Mayor Clereq kehabisan serdadu, sebab banyak yang mati terbunuh atau melarikan diri, meninggalkan komandannya. Mayor Clereq terlihat lengah, segera seorang abdi Dalem Mantri Lebet (Mantri Jero, Pen.) bernama Wiradigda maju ke depan menusuk dia. Tetapi dia kecewa sebab tusukannya mengenai baju besi di pundak. Mayor Clereq setelah melihat serangan lawan gagal ia segera menarik pistol mau membunuh abdi dalem prajurit tadi. Untung saat itu ada abdi dalem Mantri Lebet lain bernama Prawirarana, dengan tangkas menusuk leher komandan serdadu Belanda itu. Mayor Clereq jatuh terlentang kemudian diburu oleh dua Mantri tadi lalu dibunuh. Setelah komandan Belanda itu mati, serdadu Belanda yang masih hidup cepat-cepat melarikan diri dari medan perang.
Dari potongan kisah di atas tampak sekali kalau satuan prajurit merupakan perangkat strategi dan taktik pertahanan serta representasi dari kekuatan politik seorang raja. Tumbuh dan berkembangnya sebuah dinasti baru juga tidak terlepas dari keberadaan kesatuan-kesatuan tersebut. Pada masa Hamengku Buwono I - Hamengku Buwono II kegiatan penjelajahan prajurit Kraton ke wilayah-wilayah mancanegara masih terus dilakukan untuk mempertahankan dominasi dan menunjukkan kekuatan militer kerajaan ini.
Ada beberapa kelengkapan strategis prajurit terutama dapat dilihat dari berbagai strategi dan taktik klasik yang diterapkan dalam peperangan yang disebut gelar perang. Dalam Serat Kuntaratama disebutkan antara lain "gelar garudha nglayang dan sapit urang". Strategi gelar garudha nglayang diterapkan dalam pertempuran di daerah Jenar Purworejo tahun 1751 M (1677 Jw), sedangkan sapit urang diterapkan dalam pertempuran di daerah Madiun (Buminata, 1946).
Untuk mendukung kegiatan militer tersebut, sarana dan prasarana prajurit serta persenjataan yang dimiliki menjadi kelengkapan penting dan sangat diperhitungkan oleh pihak-pihak luar. Persenjataan prajurit terdiri atas beberapa jenis senjata api (meriam, senapan, dan pistol) dan senjata tradisional antara lain tombak, keris, panah, pedang, dan alat pelindung badan berupa tameng. Di samping itu, juga terdapat kelengkapan pendukung yaitu terompet, bendhe dan simbal (kecer), sebagai alat musik (unen-unen) yang dibunyikan sebagai pertanda dimulainya suatu kegiatan prajurit. Beberapa simbal Keraton kemudian diangkat sebagai pusaka dengan nama, Kiai Sima, Kiai Udan Arum, dan Kiai Tundhung Mungsuh.
Kelengkapan dan besarnya kesatuan prajurit pada masa Hamengku Buwono I menjadi tolok ukur dari kekuatan militer kerajaan. Terbukti pada tahun 1781 M Kumpeni Belanda melalui Gubernur J. Siberg pernah meminta bantuan prajurit Kraton Yogyakarta berjumlah 1132 orang untuk dikirim ke Batavia. Rincian jumlah tersebut adalah 1000 orang prajurit biasa, 100 orang dari Putra Mahkota, dan sisanya perwira. Dalam Babad Mangkubumi (Pupuh LXXII, Pangkur) disebutkan :"... kang eyang Jenderal, ing mangke karsanya ugi, nuwun bantu Kangjeng Sultan, pratiwa keh sewu tumameng wajik." (Kakek Jenderal, maksudnya Gubernur Jenderal, punya maksud agar Kanjeng Sultan membantu dengan seribu prajurit yang dilengkapi perisai). Prajurit-prajurit Kraton Yogyakarta tersebut sedianya dipersiapkan untuk menghadapi serbuan tentara Inggris yang telah menyatakan perang dengan Belanda dan telah mengadakan berbagai serangan di kawasan Eropa serta Asia Tenggara. Masa tugas kesatuan prajurit kraton di Batavia sampai dengan bulan Oktober 1783 M. Setelah prajurit kraton selesai bertugas, Hamengku Buwono I kemudian mendapatkan hadiah 12 meriam dari Residen Yogyakarta (Ricklefs, 2002).
Untuk menunjukkan kekuatan pertahanan kerajaan, di samping memiliki kesatuan prajurit saat itu Keraton juga mendirikan sarana untuk pertahanan yaitu benteng pertahanan (baluwarti) yang mengelilingi area cepuri kedhaton dan dilengkapi dengan parit keliling (jagang) di sisi luarnya. Benteng Kraton tersebut dibangun pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I oleh Putra Mahkota (kelak naik tahta menjadi Hamengku Buwono II) pada tahun Jimakir, 1706 Jw. Benteng baluwarti didirikan dengan candrasengkala "Rasa Sunyo Lenggahing Panunggal" atau tahun 1782 M dengan suryasengkala "Paningaling Kawicaksanan Salingga Bathara" (Tashadi, ed., 1979). Sebagai penanggungjawab kegiatan pembangunan benteng adalah patih putra mahkota, yaitu Tumenggung Wiraguna (Ricklefs, 2002). Keberadaan benteng dalam strategi pertahanan merupakan salah satu fasilitas penting yang menyatu dengan tugas-tugas keprajuritan untuk perlindungan. Keberadaan benteng Kraton tersebut pernah mendapat perhatian dari Gubernur Belanda J. Siberg (1780 -1787 M). Ia pada tahun 1785 M mengirimkan tim pengamat benteng pertahanan yang terdiri para taruna maritim Belanda dari Semarang. Di samping itu, ketika Gubernur Jan Greeve melakukan perjalanan ke Yogyakarta antara tanggal 5-15 Agustus 1788 M, pada 6 Agustus ia melakukan pemeriksaan dengan mata kepala sendiri ke benteng tersebut (Ricklefs, 2002).
J. Greeve yang datang bersama Residen Surakarta Hartsinch juga menyaksikan kesatuan-kesatuan prajurit yang terlatih dan menyambutnya dengan salvo senapan dan meriam. Bahkan ketika berkunjung ke sebuah Pesanggrahan Putra Mahkota yaitu Rejawinangun di bagian sisi timur kraton, juga melihat keberadaan kesatuan-kesatuan prajurit berkuda putri dari Kadipaten. Berdasarkan bukti catatan kunjungan yang ada dalam Dagregister 20 Agustus 1788 tersebut, kepada mereka juga dipertontonkan olah keprajuritan dalam memburu kijang untuk ditangkap hidup-hidup (TBG, vol. 27: 1882). Kegiatan tersebut dilakukan di tempat perburuan kijang yang berada di sebelah selatan kraton, di Krapyak.
Pada masa Hamengku Buwono II, prajurit berkuda putri tersebut dinamakan kesatuan Langenkusuma, yang keberadaannya dipusatkan di Pesanggrahan Madyaketawang. Di samping itu, prajurit Langenkusuma yang bersenjata senapan juga melakukan latihan (gladhen) di Alun-alun Pungkuran yang berada di sebelah selatan kraton. Dalam Serat Rerenggan Karaton, Pupuh XXII, Sinom, disebutkan : "Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati, pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di, angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran." (terjemahannya: di Pesanggrahan Madyaketawang, dan datanglah Sri Bupati (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan, pemimpin pasukan Langenkusuma (yang perempuan itu), mirip penampilan prajurit lelaki, dilihat dari jauh, tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat latihan di ibukota, yaitu di Alun-alun Pungkuran atau Alun-alun Selatan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar